Rabu, 08 April 2009

Sekilas DENSUS 88

Detasemen 88, atau Delta 88, merupakan julukan bagi satuan pasukan khusus antiteror yang sedang disiapkan oleh Polri. Direktur Antiteror pada Badan Reserse Kriminal Markas Besar Kepolisian Negara RI Brigadir Jenderal (Pol) Pranowo menjelaskan, angka "88" diambil dari jumlah korban ledakan bom yang tewas terbanyak pada saat terjadi bom di Bali. Pada peristiwa tersebut, sebanyak 88 warga negara Australia (satu negara) tewas.

Makna "88" berikutnya adalah, angka "88" tidak terputus dan terus menyambung. Ini artinya bahwa pekerjaan Detasemen 88 Antiteror ini terus berlangsung dan tidak kenal berhenti. Angka "88" juga menyerupai borgol yang maknanya polisi serius menangani kasus ini.
Pasukan khusus ini dibiayai oleh pemerintah Amerika Serikat (AS) melalui U.S. State Department's Diplomatic Security Service dan dilatih langsung oleh CIA, FBI, dan U.S. Secret Service. Kebanyakan staf pengajarnya adalah bekas anggota pasukan khusus AS. Pusat pelatihannya terletak di Megamendung, 50 kilometer selatan kota Jakarta.

Detasemen 88 dirancang sebagai unit antiteroris yang memiliki kemampuan mengatasi gangguan teroris mulai dari ancaman bom hingga penyanderaan. Unit khusus berkekuatan 400 personel ini diperkirakan akan efektif beropersai pada tahun 2005. Mereka terdiri dari ahli investigasi, ahli bahan peledak (penjinak bom), dan unit pemukul yang di dalamnya terdapat ahli penembak jitu.

Satuan pasukan khusus baru Polri ini dilengkapi dengan persenjataan dan kendaraan tempur buatan Amerika, seperti Colt M-4 assault rifles (senapan serbu), Armalite AR-10 sniper rifles (senapan tembak jitu), dan Remington 870 shotguns (pistol). Bahkan dikabarkan satuan ini akan memiliki pesawat C-130 Hercules sendiri untuk meningkatkan mobilitasnya. Semua persenjataan yang diberikan, termasuk materi latihan, diberitakan sama persis dengan apa yang dimiliki oleh satuan khusus antiteroris AS. Selengkapnya...

the Climb

Boukreev kembali ke Nepal dan pada tgl. 25 september 1996 mendaki tanpa tabung zat asam Cho Oyu (8201m) dan pada 9 Oktober mendaki Sisha Pangma (Puncak Utara, 8008m).
Di musim gugur Boukreev mengunjungi kantor temannya Ang Tshering dari Asian Trekking di Kathmandu, lalu dia mengajukan satu Proyek ke Boukreev.

Satu tim orang Indonesia tahun depan ingin mendaki Mt.Everest melalui Sudost grat (tenggara punggung gunung), jadi route yang sama seperti tahun lalu bersama Scot Fischer.
Setelah dia pertimbangkan, maka Boukreev sanggup menjadi Kepala Pendakian.

Terjemahan di bawah ini percakapan langsung dari suara Boukreev melalui tape recorder,

Tawaran ini sangat menarik bagiku, karena saya masih ada "Niat" dan "Janji" untuk menguburkan Scot Fischer dan Yasuko Namba secara layak, yang gugur dari malapetaka ketika turun dari puncak Everest tahun lalu, ini sangat penting bagi saya. Saya tidak dapat menghindari malapetaka itu walaupun saya telah berusaha sekuat tenaga menghindari korban sekecil mungkin.

Dengan orang Indonesia saya melihat mereka percaya dengan kemampuan saya, dan juga saya memerlukan uang untuk hidup saya. Saya harap tim Indonesia ini bisa mengakui saya sebagai Trainer dan Pemimpin dalam tim pendakian ini. Saya juga mengakui, saya sangat tersinggung dengan apa yang di tulis oleh media di Amerika tentang malapetaka tahun lalu.

Tanpa sokongan dari teman-teman di Eropa seperti Rolf Dujmovits dan Reinhold Messner, maka nama saya di mata masyarakat Amerika sangat buruk. Setelah saya bertemu dengan organisator tim indonesia di Kathmandu, saya terbang ke Jakarta untuk bicara dengan Jendral Prabowo, sebagai Kordinator Pendakian Nasional.

Saya mengatakan secara terus terang kepadanya, bahwa dengan keadaan seperti sekarang, keberhasilan mencapai puncak Everest, perkiraan saya sangat kecil. Saya mengatakan padanya, barangkali hanya 30%, dan itu juga artinya hanya satu pendaki yang sampai ke puncak. Seterusnya saya terangkan kemungkinan jatuh korban juga 50%-50%. Jadi dengan kemampuan pendaki Indonesia untuk mendaki Everest menurut saya tidak akseptabel.

Karena itu saya mengusulkan satu tahun penuh training mendaki gunung yang puncaknya tinggi secara perlahan beraklimitasi, dan Usulan saya ditolak. Tradisi saya dalam Sport selalu dengan memakai pikiran yang sehat, tidak memakai cara "Roulette Rusia".

Kematian seorang anggota ekspedisi, selalu pukulan yang berat yang menghancurkan keberhasilan mencapai puncak. Lebih dari 8000m, keselamatan pendaki amatir juga menurun, termasuk juga orang yang fitness super. Saya tidak bisa menjamin keselamatan orang-orang yang sangat sedikit atau tidak sama sekali berpengalaman di gunung-gunung tertinggi di dunia ini.
Orang Indonesia bisa membeli dan mempelajari pengalaman saya, nasehat saya, dan tugas saya sebagai pemimpin pendakian dan tim penyelamat. Kalau mereka ingin ke puncak Everest, mereka harus menanggung sendiri sebagian akibat kesombongan mereka nanti, karena mereka sangat tidak berpengalaman. Jendral Prabowo meyakinkan saya, bahwa orang-orang mereka sangat bermotivasi dan mampu, mereka akan memberi jiwa mereka, untuk mencapai tujuan ini. Satu jawaban yang jujur dan juga membuat saya Shock.

Saya merancang pekerjaan saya, agar pendaki Indonesia mendapat cukup kesempatan belajar dari pengalaman saya, tapi juga mereka harus belajar berdiri sendiri. Karena semua ini tergantung akhirnya dari kemampuan perorangan dan pertanggung jawaban sendiri, karena di Everest ketika mau muncak nanti, walaupun sebelumnya telah dipersiapkan semua, tetap saja berbahaya. Jendral Prabowo setuju, sebelum ekspedisi mulai, tim pendaki harus berlatih dan
menguatkan kondisi.

Saya tahu, bahwa kami membutuhkan para pelatih yang sangat menguasai dan berpengalaman cara teknik dan pengalaman di gunung yang tinggi, yang nanti akan bekerja sebagai penasehat ketika berlatih dan aklimasi dan juga ketika muncak mereka juga bekerja sebagai tim penyelamat. Konsep dari team penyelamat sangat penting bagi saya, karena itu saya tekankan
dengan jelas. Saya juga tidak bersedia memberi garansi ke jendral Prabowo akan keberhasilan ekspedisi ini.
Saya juga tidak akan melanjutkan ekspedisi ini, walaupun kita sudah dekat puncak, kalau keselamatan tidak mengizinkan. Jendral Prabowo juga harus mengerti, dengan keadaan para pendaki ketika mau muncak dan keadaan cuaca yang mungkin saja membatalkan rencana menyerbu ke puncak Everest. Semua itu saya yang menentukan. Dia juga harus mengerti, di
ketinggian 8000m juga tim penyelamat yang terbaik di dunia pun, tidak bisa memberi garansi 100%.
Kalau hal yang tak diinginkan terjadi, saya bersedia berusaha menyelamatkan dengan resiko keselamatan saya. Itulah dasar perjanjian kami. Training program akan kami mulai dengan tepat waktunya. Di ambang musim dingin ini direncanakan pelatihan aklimasi di ketinggian 6000m dengan udara dingin dan angin. Kami akan berlatih, disiplin, mental dan stamina di cuaca yang berat, sesuai dengan tantangan di Everest nanti.

Training program mulai tgl. 15 Desember di Nepal.
34 pendaki, orang sipil dengan beberapa pengalaman gunung, dan anggota tentara yang tidak ada pengalaman di gunung tapi sangat fit dan sangat disiplin, mereka ini semua sebagai anggota team permulaan. Dari 34 orang ini akan disaring dan diambil yang paling mampu utk pendakian nanti. Karakter penyaringan dilihat dari kesehatan, stamina, kemampuan, dan mental. Diwaktu ini para calon pendaki belajar teknik tali menali dan tangga menangga dan juga teknik dasar dari memanjat.

Ditahun yang lewat komunikasi adalah problem kami yang besar, dimana saya mengetahuinya setelah semua terlambat. Bukan hanya perbedaan bahasa membikin orang frustasi, juga tidak lengkapnya alat berkomunikasi. Sekarang ini setiap anggota team harus dilengkapi dengan alat komunikasi. Saya usul kan dari Basiscamp selalu ada kontak langsung dengan liveran di Kathmandu.
Kecuali itu saya menuntut untuk mendapatkan setiap hari laporan cuaca dari setasion meteorologie dilapangan terbang Kathmandu. dari semua ini karena ada ikut campur militer, saya berterima kasih juga, karena kami juga dibantu oleh militer nepal.

Perwira xpdc kami Monty Sorongan yang bagus berbahasa inggris berfungsi sebagai
kontakman antara gunung dan liveran di Kathmandu. Dan bahasa dalam xpdc ini kami
pergunakan bahasa inggris. Semua ini untuk menghindari kesalah pahaman.

Untuk xpdc ini saya berhasil mendapatkan 2 orang Alpinist rusia yang sangat terkenal untuk bekerja sama dengan kami: Vladimir Bashkirov dan Dr. Evgeni Vinogradski.
Bashkirov yang berumur 45th berpengalaman selama 15th berorganisasi xpdc di daerah yang sulit, dan mengenal route di Pamir dan Kaukasus, dan berhasil mendaki 6 gunung diatas 8000m, dua antaranya Mt.Everest, dia adalah suatu keuntungan mau berkerja sama dengan kami. Lain dengan saya, dia pendiam dan suka berdiplomasi dan juga pintar berbahasa inggris. Dia orangnya supel untuk berkomunikasi, juga menguntungkan utk team xpdc. Di Rusia juga dia terkenal sebagai kameraman-petualangan dan produser film, nanti juga dia akan membikin
film utk xpdc indonesia ini.

Dr. Evgeni Vinogradski, umurnya 50th, 7 kali juara manjat di Rusia dan 25th berpengalaman sebagai Trainer pendaki gunung yang tinggi dan Dokter Sport, yang akan melengkapi stab penasehat di xpdc ini. Evgeni dan saya di th 1989 bersama-sama telah melintasi Kanchenjunga, dia termasuk teman baik saya.

Untuk saya dia adalah "Garuda Tua", yang telah mendaki lebih dari 20 gunung yang berketinggian 7000m, dan 8 gunung yang berkentinggian lebih dari 8000m, termasuk 2 pendakian Everest, salah satu dari itu dia telah bekerja sebagai pimpinan pendakian.
Ang Tshering dari Asian Trekking di Kathmandu berfungsi bagian logistik dan juga utk mencari Sherpa yang bakal bekerja dgn xpdc kami. Kita harus bersyukur, karena kami mendapatkan Sherpa Apa von Thami, 37th, 7x menaklukkan Everest, sebagai Sirdar (pemimpin Sherpa) dan First Climber Sherpa (Sherpa yang ikut muncak) utk bekerja dengan kami. Sherpa berada dibawah komando Ang Tshering dan Stab Indonesia. Pekerjaan mereka seperti biasa di Basis Camp dan juga mereka harus memasang Fix tali di route diatas Breaking Ice (Eisbruch), menyiapkan Highcamp dan logistik dan di hari penyerbuan ke puncak ikut mengiringi, mereka harus transport tabung zat asam utk team yang muncak.

Pada tgl. 6 Desember saya terbang dari Jakarta ke Amerika, karena saya punya termin dengan dokter, utk check muka dan mata saya, akibat dari kecelakaan naik Bus di bulan Oktober.

Bashkirov dan Vinogradski memimpin Training di Paldor Peak, Ganesh Himal, yang mulai pada tgl. 15 Desember. 34 orang pendaki, dimana separuh dari mereka tidak mempunyai pengalaman High Alpin, berusaha mencapai puncak Paldor (5900m). 17 orang berhasil muncak. Mereka bertahan 21 hari perlahan ber aklimasi dengan cuaca musim dingin.

Di bulan Januari dan Februari 34 pendaki melakukan Training yang ke dua di Island Peak(6189m). 16 pendaki yang berhasil adalah pendaki yang telah berhasil juga di Paldor
sebelumnya. Mereka berada disana selama 20 hari dibawah tempratur minus 40 drajat Celcius dan topan musim dingin yang kencang.
Dan 3 hari, 3 malam di ketinggian 6000m dengan keadaan cuaca yang sangat berat mereka harus setiap hari mendaki dan turun dengan beda ketinggian 1000m, harus dicapai waktu kurang dari 5 jam.

Training ini sangat optimal. Saya sendiri menggelengkan kepala: Paldor, Island Peak, Everest. Sebagai Training program bukan untuk sembarangan orang.

Kembali di Kathmandu, Bashkirov dan Vinogradski membikin satu Liste untuk Kolonel Eadi. Di Liste itu diterangkan utk ke 16 orang itu tentang kecepatan, penyesuaian di ketinggian, kesehatan dan kemauan dari ke 16 orang ini. Pendaki dari Kopasus, walaupun mereka tidak berpengalaman, tapi sangat berambisi dan disiplin dan memperlihatkan di situasi yang sulit lebih bermotivasi.
Di penyaringan terakhir tinggal 10 Kopasus dan 6 orang sipil. Kami menganjurkan hanya satu pendakian, yaitu dari bagian selatan, tapi telah ditolak oleh Indonesia. Indonesia telah mendapatkan seorang: Richard Pavlowski utk memimpin satu team indonesia yang mendaki dari arah utara.

Dan akhirnya kami mengambil 10 orang pendaki ke Basis Camp di bagian selatan, dan 6 orang pendaki ikut Richard dan pergi ke Tibet. Setelah Island Peak, istirahat selama 26 hari. Kami harus sebagai team pertama di musim ini yang mendaki dan melalui Khumbu.
Karena saya ingin, kami sebagai tim yang pertama berada di gunung dan terus mendaki ke puncak, karena saya ingin di waktu muncak, tidak terjadi persaingan dengan tim yang lainnya.

Helikopter Rusia membawa kami pada tgl. 12 Maret dari kota Kathmandu yang kotor berpolusi ke Luka (2850m). 10 pendaki, 3 alpinist trainer Rusia dan 16 Sherpa ikut didalam Helikopter.
Kami ingin ke Base Camp dan terus menyerbu puncak Everest. Satu cita-cita yang sangat berambisi. Luka adalah salah satu daerah yang saya selalu merasakan kembali perasaan bebas
merdeka.
Saya mencintai gunung. Disinilah rumah saya. Orang hanya bisa mengerti dengan perasaan saya, kalau sudah pernah dipagi hari dengan Helikopter diatas pegunungan ini, dan turun disana ditempat yang sunyi dan damai ditengah satu daerah pegunungan yang tak ada duanya di dunia ini dengan puncaknya yang megah menantang dengan punggungannya seperti tulang
tengkorak yang tajam dan terlihat diselubungi udara yang bersih bagaikan kristal.
Dari "Kemuliaan dan keluhuran ini, saya merasakan betapa sedikitnya dan kecilnya diri saya dibandingkan dengan apa yang saya alami disini".

Seperti biasanya setelah kedatangan saya, dan saya merasakan setiap pagi, bahwa saya datang ditanah, yang karena itu saya dilahirkan. Ditahun ini ada 17 team xpdc yang lainnya di Basic Camp. Saya berusaha memisahkan team kami dari team lainnya, untuk menghindari hal-hal yang saya tidak ingini.
Sementara ini sedang di diskusikan, Sherpa dari team mana yang akan memasang Fix tali dia Breaking Ice (Eisbruch), karena Fix tali ini juga nanti achirnya digunakan dengan team-team lainnya kalau melewati Breaking Ice. Biasanya hal ini dikerjakan oleh Sherpa dari satu ekspedisi atau bersama-sama dari beberapa xpdc dalam memasang Fix tali dan tangga-tangga. Dan upah mereka untuk mengerjakan ini, malah diambil oleh organisasi ekspedisi, diatas disini masih juga dipraktekkan system Kolonial.
Banyak team yang akan melalui ini, jadi sedang dipikirkan, kalau team yang tadinya tidak mengirim Sherpanya dalam memasang pengamanan Fix tali dan tangga, kalau lewat harus bayar.Dan ditahun ini telah terbentuk juga sementara perkumpulan "Pangboche Sherpa Cooperative" yang memperjuangkan menerima uang bayaran itu, lumayan banyak utk mereka dari 10 sampai 20 ribu Dollar. Sherpa dari team Henry Todd dan Mal Duff yang mengerjakan tali pengamanan dan tangga dengan cepat, yang nantinya juga akan kami gunakan.

Mulai dari sekarang, seluruh route untuk muncak sudah diamankan. Dan seluruh xpdc akan menggunakan route ini, dan membayar ke perkumpulan "Pangboche Sherpa Cooperative"
Waktunya nanti akan datang, dimana orang Nepal nanti 100% berkuasa memasarkan gunung ini, seperti orang Amerika dengan McKinley, tentu saja akan datang protes dari pihak-pihak tertentu yang sekarang saja membayar Sherpa yang bekerja paling berat ,sangat murah dan dibawah tarif.

Team kami datang di Basic Camp tgl 19 Maret. Karena team kami telah melakukan Training, kami tidak perlu ber aklimasi lagi di ketinggian sebegini. Didepan kami terletak Breaking Ice (Eisbruch), psykologis sangat penting dalam pendakian Everest, karena balok-balok Es di Breaking Ice yang seperti raksasa besar, tinggi dengan jurang gletser yang menganga pecah berantakan tak beraturan dan setiap sa'at bentuk dan posisinya selalu berubah, karena gerakan dari gletser yang turun kebawah.
Jadi kalau kita melalui daerah ini, keberanian kita akan di uji, setiap langkah harus di perhitungkan, kalau tidak terprosok masuk jurang es menuju Nirwana. Kita memanjat berjam-jam melalui jurang es gletser yang terbuka dan tidak tahu berapa dalamnya, dengan menggunai tangga yang di ikat-ikat dan disambung-sambung, daki terus melalui balok es yang bergerak yang setinggi rumah yang bertingkat-tingkat.

Tgl 22 Maret kami mendaki dengan seluruh anggota team ke Camp 1 untuk beraklimasi. Semua anggota menunjukan keadaan yang menggembirakan, hanya memperlihatkan sedikit ketidak biasaan, tapi dalam pendakian kedua kalinya mereka telah menunjukkan routinitas dan lincah. Setelah ini nanti selesai, datang berikutnya, naik lagi, istirahat beraklimasi.

Setelah 2 hari istirahat di Basic Camp, pada tgl 26 Maret kami naik lagi ke Camp 1 (6000m) dan bermalam disana, dan pada tgl 27 Maret langsung naik ke Camp 2 (6500m).
Disitu kami bermalam 2 malam dan mendaki sampai ketinggian 6800m. Dan tgl. 29 Maret kami turun lagi ke Basic Camp dimana kami 3 hari beristirahat. Ditahun ini semua anggota team dan stab semua sehat walafiat.

Aklimasi kami yang ke 3, mulai tgl. 1 April. Kami mendaki langsung dalam waktu 8 jam ke Camp 2, dan bermalam disana 2 malam.

Tgl. 4 April kami mendaki sampai ke ketinggian 7000m, dan kembali lagi ke Camp 2 dimana kami besoknya istirahat.

Tgl. 6 April kami menerjang langsung sampai ke Camp 3 (7300m). Sebelumnya Sherpa kami telah memasang Fix tali (tali pengaman) yang menuju ke Camp 3.
Tgl. 7 April kami beristirahat di Camp 3.


Sekarang ada problem yang terasa dari struktur organisasi kami ini. Sherpa tidak berada dibawah komando saya. Tugas mereka hanya menolong di pekerjaan tertentu saja. Contohnya, masang tali, membangun Camp dan transport Logistik. Pekerjaan yang harus dikerjakan sebenarnya banyak, karena kami yang pertama di depan di route ini, dan tidak ada pertolongan dari Sherpa, mereka semua di belakang.
Pertolongan Sherpa tidak bisa mengimbangi kami team pendaki yang selalu bergerak menuju ketempat yang lebih tinggi. Apa (pemimpin Sherpa) juga sedih melihat orang-orang dia yang tidak cukup akzeptabel karena kurang kemampuan dan pengalaman, yang bisa mengakibatkan
tersendatnya pendakian ini.

Saya berencana dengan team pendaki sambil melatih aklimasi aktiv bermalam di saddel selatan (7900m) dan sampai di ketinggian 8200m mendaki. Dan juga saya akan merencanakan di ketinggian 8500m membuka HighCamp darurat disini. Untuk berjaga-jaga kalau turun nanti, kalau terjadi perubahan cuaca, dan juga biasanya disebabkan turun yang lambat, karena itu juga waktunya juga jadi terlambat, sehingga datang topan es dll. Karena Sherpa brontak dan menolak mengerjakan ini, maka rencana saya ini batal.

Sebagai kompromis saya membantu Apa memasang Fix tali dari Camp 3 ke Yellow Band (Gelbend Band, lereng yang berwarna kuning) di ketinggian 7500m. Tgl 8 April kami mendaki dengan 8 pendaki sampai di lereng kuning, dan turun kembali ke Camp 3. Kami bermalam disini dan 9 April kami turun sampai ke Basic Camp.

Sebenarnya terlihat sekarang perbedaan kondisi dan prestasi dari setiap pendaki, dimana ketinggian dan beratnya lapangan yang menyeleksi mereka sendiri secara alami.
Dimana pendaki dari orang sipil motivasi mereka kurang dan tidak begitu berkonsentrasi dengan tujuan mereka dibandingkan dengan anggota Kopassus, dimana 3 dari anggota Kopassus ini walaupun dengan kekurangan mereka dengan pengalaman, sebagai calon yang terkuat utk menyerbu puncak nanti.
Mereka ini bergerak dengan enteng dan tahan dengan ketinggian tanpa problem. Dan ambisi mereka utk sampai ke puncak tidak pernah padam. Diwaktu kami turun, saya melihat prestasi yang mengendor dari para pendaki, kecuali 3 orang Kopassus ini, melaksanakan turun gunung dari Camp 3 sampai ke Basic Camp tanpa kesulitan. Ketiga orang ini; Sersan Misirin 31th, Prajurit Asmujiono 25 th, Letnan Iwan Setiawan 29th.

Untuk menyerbu ke puncak nanti, saya akan membagi menjadi 3 grup, grup saya, Bashkirov, Vinogradski dengan setiap grup 1 orang pendaki kopassus dan 1 Sherpa, dan juga Sherpa yang lainnya yang kuat dan sehat harus mendukung penyerbuan ini juga.


Pada tgl. 9 April kami kembali ke Basic Camp, dimana saya yakin sebelum penyerbuan ke puncak, istirahat di daerah yang rendah, sangat positiv bagi team pendaki, karena itu saya suruh anggota team untuk turun beristirahat selama satu minggu di perkampungan hutan Deboche (3770m).
Tidak ada yang lebih baik untuk tubuh dan jiwa manusia beristirahat dihutan yang lebat hijau dan kaya zat asam. Disini kita bisa menghindari dari kegiatan rutin yang selalu kita lihat di Basic Camp, sebab setelah 3 minggu latihan berat di atas es dan daerah yang menjemukan, maka tubuh dan jiwa tentu menjerit ingin relax.

Perwira penghubung militer kami Kapten Rochadi saya tekankan bahwa kami membutuhkan di Camp 5 dua tenda, sepuluh botol zat asam, sleepingbag dan alas tidur. Saya harap dia dalam 7 hari selama kami tidak ada dengan Apa dan Sherpanya mentransport itu semua.

Pada tgl 21 April team datang ke Basic Camp dari Deboche, dimana kami melakukan zeremoni dan berdoa. Orang Indonesia selalu ingat dengan Tuhan, mirip dengan para Sherpa yang saban pagi memberi kurban untuk gunung. Saya respekt dengan kepercayaan mereka.
Wajah-wajah dari pendaki dan seluruh anggota team, ketika seremoni dan berdoa sangat serius dan sangat berkonsentrasi. Dan sisa hari ini, para anggota menyiapkan diri utk persiapan pendakian. Selama menunggu hari pendakian semua menunggu tegang, pada diri saya terasa ketenangan bermeditasi, tapi juga kegembiraan atas datangnya pendakian.

Saya tahu bahwa Camp 5 belum berdiri. Apa meyakinkan saya, ketika hari muncak, Camp itu akan selesai. Saya juga memohon dengan team Rusia yang kebetulan beraklimasi di Camp 3, agar mereka menolong kami jika terjadi yang tak diingini. Dan di Camp 2 juga ada Sherpa dan team lainnya yang akan menolong kami, jika keadaan berbahaya. Bashkirov, Vinogradski, Apa dan saya ketika muncak dilengkapi dengan alat komunikasi. Satu atau dua dari kami akan selalu menemani pendaki. Di Sadel Selatan dua Sherpa berjaga dengan alat komunikasi, kami juga ada hubungan komunikasi dengan team Rusia di Camp 3, dengan orang kami di Camp 2 dan juga dengan Basic Camp.

Kabar cuaca dari Kathmandu menggembirakan. Gangguan cuaca yang sebentar baru saja berlalu, dan 5 hari kedepan tampaknya aman utk kami. Aman adalah relativ. Diatas ketinggian 8000m dengan cuaca yang bagus, jangan disangka tidak ada tantangan.

Pada tgl 22 April tengah malam 3 orang Rusia dan 6 orang Indonesia dibawah terang bulan berangkat dari Basic Camp yang aman mendaki untuk muncak. Kami mendaki cepat sampai di Camp 2. Team pendaki Indonesia juga cepat mendaki hanya membutuhkan waktu 6 jam sampai di Camp 2 tanpa problem.

Tgl 23 April kami beristirahat di Camp 2.

Tgl 24 April sebagian dari pendaki dan Sherpa tinggal di Camp 2, Bashkirov, Vinogradski dan saya bersama Misirin, Asmujiono dan Iwan mendaki ke Camp 3, team kami kelihatan dapat berdiri sendiri dan stabil, kami juga kadang-kadang bercanda.
Pada tgl 24 April ini, angin kencang di Sadel Selatan, tapi dari Kathmandu melalui Kapten Rochadi mengatakan angin kencang itu tidak begitu serius, diperkirakan dalam 2 hari angin kencang itu akan reda.

Saya menetapkan semua anggota team pendaki tetap di Camp 3, dan Sherpa semua turun ke Camp 2 utk mencari Apa yang telah berjanji untuk membereskan Camp Darurat, tapi sekarang belum beres juga.
Pada tgl 24 April ini kami beristirahat, dan tgl 25 April team kami mencapai Sadel Selatan antara jam 15.00 dan jam 17.00. Pendaki Indonesia telah melalui rute ini tanpa extra tabung zat asam dan tanpa problem. Keadaan mereka sangat bagus, kerja sama mereka berfungsi, dan bermotivasi tinggi.
Rute terakhir menuju puncak, setiap pendaki Indonesia harus membawa 2 tabung zat asam, dari itu selalu 2 liter permenit menggunakannya. Dan Sherpa yang juga menggunakan tabung zat asam, harus membawa extra 3 tabung zat asam untuk setiap orang team pendaki.

Karena kami ekspedisi yang pertama tahun ini, kami tahu meliwati rute ini membutuhkan banyak tenaga, karena salju sampai setinggi paha sebab sudah lama tidak dilewati orang, dan juga di ketinggian 8100 sampai 8600m salju masih saja setinggi dengkul. Dan juga kami harus memasang tali pengaman sendiri.
Untuk pendakian kali ini saya menggunakan tabung zat asam, sebab setelah terjadi kecelakaan dengan Bus, saya tidak mengetahui daya tahan badan saya. Jadi utk menjaga keselamatan saya dan keselamatan orang yang saya jaga ini, saya harus menggunakan tabung zat asam.

Dan juga banyak perubahan keadaan di rute yang akan kami lalui, ketika kami sampai di Sadel Selatan.
Seluruh rute yang akan kami lalui, masih penuh dengan salju yang tingginya setengah meter sampai satu meter. Dan juga Sherpa yang masih fit hanya 8 orang. Camp Darurat masih harus dibangun. Saya tidak bisa memaksa Sherpa yang dengan beban berat di punggungnya, untuk
cepat mendaki keatas membangun Camp Darurat itu. Kalau saya tetap menuntut mereka melakukan itu, dengan iklim diatas seperti ini, berarti saya ini orang yang sangat brutal.

Jadi kami punya 8 Sherpa, sekarang hanya Apa dan Dawa yang akan ikut naik sampai ke puncak, bersamaan itu Sherpa yang lainnya nanti harus membawa Logistik ke Camp Darurat (8500m). Apa kembali berjanji dengan saya, "Bereslah itu semua, jangan kewatirlah".

Bashkirov, Vinogradski dan saya mengetahui bahwa tabung zat asam hanya pas-pas an, yang berarti nanti dalam keadaan darurat, kami harus tanpa tabung zat asam dalam pendakian.
Satu tabung zat asam cukup utk 6 jam kalau orang menyetel 2 L /menit, tapi jarang di stel segitu. Kalau kita stel 1L /menit, maka persediaan akan dua kali lipat. Peralatan yang akan diangkut keatas juga banyak, didepan kami sedang menunggu kerja yang berat sekali.

Tgl. 26 April ditengah malam kami mulai mendaki keatas dari Sadel Selatan. Saya menggunakan tabung zat asam 1 L /menit, saya selalu paling depan, jalan perlahan dan sulit.
Vinogradski dan Bashkirov menghemat tenaga mereka dan mengikuti di belakang bersama-sama dengan Kopassus. Diketinggian 8300m kami merasakan, kecepatan kami seperti ditahun yang lalu. Saya di depan dan Apa dibelakang saya. Tapi team sedikit lambat.

Saya mendaki terus melalui ketinggian 8600m. Setelah 9 jam melalui salju setinggi paha, saya mencapai dengan susah payah Puncak Selatan. Dibawah saya, Apa mengamankan jalan yang terjal di ketinggian antara 8600m sampai 8700m hampir mencapai Puncak Selatan.
Jam 11.00 seluruh team mencapai Puncak Selatan.

Kami mengadakan Evaluasi, dan Apa menganjurkan, saya terus mendaki sampai puncak dan melihat keadaan. Okay, kata saya dan ketika saya menanyakan tali ke dia, dia menjawab, bahwa kita tidak mempunyai tali lagi. Saya kecewa dengan Apa, masak di ketinggian segini saya harus mencari tali bekas yang tertimbun dibawah salju, dan nantinya akan saya sambung-sambung sebagai tali pengaman utk team ini, sebanyak itu tenaga saya juga tidak.
Dan Apa mengaku, dia menggunakan tali terakhir yang panjangnya 100m, utk mengamankan rute yang sebenarnya tidak perlu di amankan, saya sulit mengerti dengan tindakan dia ini.
Dimana disini salju sangat tebal, jadi tempat bahaya yang menganga tidak terlihat, jadi bahaya sekali.

Apa menawarkan diri, untuk turun dan mengambil tali. Tapi sekarang faktor waktu yang harus dipikirkan. Waktu berjalan terus, kami harus terus mendaki atau turun.

Apa yang merasa bersalah, karena kelalaian dia, yang bisa mengakibatkan ekspedisi ini gagal, ingin membetulkan kesalahannya kembali. Dia pergi kedepan dan mengamankan rute kami dengan sisa tali yang terakhir panjangnya 40m dan tali tua, bekas tali ekspedisi-ekspedisi sebelumnya dahulu.
Selama itu kami istirahat, saya merasakan tenaga saya datang kembali.

Ketika Dawa memotong jalan kami, kami mendapat berita, bahwa di ketinggian 8500m sudah berdiri satu Kemah dan persediaan tabung zat asam utk kita. Apa telah memasang tali pengaman yang terbagi-bagi sampai diatas achir Hillary Step. Yeah! team kami semua fit. Jam waktu 12:30 ketika Apa melewati Hillary Step. Cuaca top. Camp Darurat beres. Bashkirov, Vinogradski dan saya memutuskan walaupun kami sangat terlambat, yang kami kira sekitar jam 15:00 sampai di sasaran.

Serbuuuuuuuuuuuuuuuu.............................!

Misirin berjalan maju pelan tanpa pertolongan. Asmujiono bergerak mantap, tapi seperti orang yang sedang bermeditasi. Juga Iwan berjalan pelan, dari dia bisa dilihat kemampuan koordinasinya berkurang, tapi mentalnya masih kuat.
Misirin menunjukkan dari semuanya yang paling mantap, karena itu kami memberikan dia kesempatan utk orang yang pertama mencapai puncak. Tekad dari orang tiga ini tidak terpecahkan, kesempatan mencapai puncak, tidak mau mereka sia-siakan.

Terpikir diotak saya, biar satu orang saja yang muncak, yang lainnya turun. Ah...! nanti saja saya pikirkan, kalau kami sudah melalui Hillary Step. Dan tiba-tiba saya merasakan Asmujiono konsentrasinya mulai berkurang, dan saya katakan kepada Dr. Vinogradski untuk mengamati Asmujiono. Bashkirov dan Misirin jalan paling depan, setelah itu Iwan dan saya, Asmujiono dan Dr. Vinogradski terakhir di belakang.

Punggungan gunung hari ini tampaknya lain dari biasanya, lebih terjal dan salju yang tebal sekali. Iwan bisa maju dengan perlahan. Dan disatu tempat badannya oleng, disaat yang kritis berhasil selamat dengan tali pengaman. Ketika saya sedang memperlihatkan dia bagaimana cara orang menggunakan Linggis Es (Ice Pickels) di punggung gunung secara benar, disini jelas sekali kelihatan, saya berhadapan dengan orang yang pertama kali dalam hidupnya, yang melihat salju baru sejak 4 bulan yang lalu. Sebenarnya melalui rute punggung gunung ini, dengan hanya menggunakan tali pengaman, sudah cukup, hal ini sudah saya perhitungkan sebelumnya, jadi tidak perlu menggunakan Linggis Es. Tapi sekarang saya harus mengajarkan menggunakan itu ke anak muda yang sabar dan bertekad bulat ini. Saya bertanya kembali kediri saya sendiri "Apa artinya semua ini, bagi orang Indonesia?". Sebagai seorang Sportman, saya tidak akan mempertaruhkan nyawa, hanya sekedar untuk sampai ke puncak, tapi serdadu ini, yang prinsipnya lain dari yang lain, mempertaruhkan nyawa mereka untuk keberhasilan ekspedisi ini.

Setelah Iwan berjuang melalui punggungan gunung, dimana di situasi ini saya harus terus mengamati, kami mendaki terus perlahan dan saya sampai di kaki Hillary Step. Disini saya bertemu satu jenazah (Jenazah Bruce Harrods, yang hilang pada th.1996, anggota Johannesburg Sunday Times Expedition Afrika Selatan). Dia tergeletak dengan tubuhnya di lilit tali disana, Besi cengkram sepatu es nya (Steigeisen) di keadaan posisi mau naik, dan mukanya sudah tidak di kenal lagi. Cuaca disini memang berat, saya mengenali dia hanya dari jaket biru bulu angsa yang dipakainya. Saya dan semua di team kami sangat menyesal tidak bisa berbuat banyak dengan jenazah ini, karena keadaan yang tidak memungkinkan, respek kami besar dalam hal ini. Dan juga tugas pokok saya sebenarnya, menjaga lampu kehidupan orang Indonesia yang sudah mulai berkerlap-kerlip ini, dan juga situasi kami juga lain dari tidak berbahaya.

Saya sampai di ujung Hillary Step, selagi Iwan dan Asmujiono dibelakang saya melewati punggung gunung. Disitu saya berdiskusi dengan Bashkirov, dimana kami harus memutuskan apakah hanya Misirin sendiri yang terus mendaki sampai di puncak, dan yang lainnya turun. Apa dan Dawa sudah terus mendaki didepan menuju puncak., Asmujiono sedang berusaha melewati Hillary Step, Vinogradski nampak di belakang. Dia berusaha meyakinkan Iwan untuk turun, tapi dia tidak mau, bisa dilihat bagaimana Iwan berjuang pantang mundur terus mendaki keatas melalui Hillary Step. Tidak satupun dari orang Indonesia ini bersedia untuk menyerah.

Saya merasa kuatir dengan persediaan tenaga mereka, karena saya memikirkan mereka untuk turun nanti, karena nanti mereka juga memerlukan tenaga mereka sendiri. Walaupun hanya sampai ke puncak tinggal lebih dari 100m, demi keselamatan, saya bilang ke Iwan dan Asmujiono dan menasehatkan mereka untuk berbalik, dan turun. Mereka menolak mentah-mentah!

Sebab itu kami semua terus saja naik menuju puncak. Saya menyusul kedepan sampai 30m dari puncak, disana saya menemui Apa dan Darwa dan membicarakan soal keadaan Iwan dan Asmujiono, yang sudah berjalan seperti Robot, tapi full konsentrasi kearah puncak. Saya ingin mereka turun, selagi mereka masih kuat dan sanggup. Mungkin sekali kami nanti menggunakan Camp yang di ketinggian 8500m. Saya ingin secepat mungkin turun dari puncak, karena sekarang sudah pukul 15:00 jadi sudah sangat kemalaman. Cuaca masih stabil, tapi sudah mulai kelihatan awan putih halus mengambang di sisi selatan. Karena saya lihat pendaki Indonesia setiap satu langkah satu menit istirahat, pasti mereka masih memerlukan waktu setengah jam sampai puncak.

Ketika saya sampai di puncak yang disusul Misirin dan Bashkirov dengan jarak 30 m dibelakang saya, saya melihat Misirin jatuh diatas salju. Dan tiba-tiba muncul Asmujiono dan melewati Misirin yang masih tergeletak diatas salju. Dengan pandangan matanya yang selalu tertancap ke puncak Everest, dia berlari kecil seperti dibawah sadar dan gaya "Slow Motion" menuju tiang berkaki tiga yang penuh dengan bendera yang tanda sebagai puncak Everest itu, dan dia langsung memeluknya. Dia menyingkirkan semua apa yang ada kepalanya, dan langsung memakai Baret Merah keatas kepalanya, dia terus mengambil bendera dan mengibarkan Sang Saka Merah Putih di puncak Everest. Ketakjuban saya seperti ini, tidak pernah saya alami.

Karena tekad laki-laki ini, membuahkan kebanggaan untuk Bangsanya.
Cukup sekarang!, sekarang juga turun semua. Saya cek kondisi saya. I feel good dan masih ada tenaga simpanan. Juga Bashkirov dan Vinogradski masih kuat dan "Brain" mereka masih berfungsi normal. Kami masih bisa berpikir untuk mengontrol ini semua, sedang orang Indonesia lebih banyak dari ke Automatisan dari kebiasaan yang mereka lakukan, yang dalam hal-hal yang tertentu bisa membahayakan mereka.

Saya membuat foto Asmujiono. Sekarang sudah jam 15:30 sudah sangat terlambat (kemaleman). Bashkirov sampai di puncak. Apa yang kembali lagi ke puncak, langsung saya perintahkan untuk membangun tenda di Camp 5. Kami tinggal di puncak tidak lebih dari 10 menit. Vinogradski hanya beberapa meter dari tiang tiga kaki, ketika saya memerintahkan semuanya untuk turun. Vinogradski balik dan pergi mencari Iwan, yang berada 80m dari puncak. Dan saya pergi ke Misirin yang berada 30m dari puncak, tergeletak diatas salju, dan saya berjongkok disamping dia, dan mengatakan ke dia, kita telah sampai di puncak. Saya keheranan, ketika tiba-tiba dia berdiri dan berjalan untuk turun. Seratus meter dibawah puncak diwaktu turun, kami bertemu dengan Vinogradski dan Iwan. Memang berat hati saya memerintahkan laki-laki ini yang tinggal beberapa meter dari puncak untuk segera turun, tapi saya tetap keras demi keselamatan diri mereka sendiri, karena setiap menit sangat berharga. Kalau kami tidak berhasil turun dibawah sinar matahari, rencana yang telah disusun akan berantakan.

Kami sampai di Puncak Selatan pada jam 17:00, setelah kami bersusah payah dengan menggunakan tali-tali bekas dan tua menyelusuri jalan turun, yang telah di pasang Apa yang di putus-putus untuk melewati punggungan gunung. Saya turun yang paling akhir, Dawa sudah menunggu di Puncak Selatan. Ketika turun dari Puncak Selatan Misirin terjatuh berkali-kali tapi dia berdiri kembali dan terus turun. Iwan, yang memakai tabung zat asam dari Vinogradski, tiba-tiba terlepas dari tali penyelamatnya dan menyerosot ke bawah. Kalau Vinogradski tidak memegang dia dan mengikatkannya kembali di tali pengaman, jurang yang beratus meter dalamnya menganga menanti dia. Asmujiono yang bergerak lincah turun sama-sama dengan Sherpa. Saya memimpin grup ini dan berjalan di depan dengan menyalakan lampu
senter dikepala saya yang saya arahkan ke rute jalan kami.

Jam 19:30 semua Kopassus dan saya sampai di Camp 5. Bashkirov dan Vinogradski sampai satu jam lebih lambat. Sekarang hanya Kopassus yang memakai tabung zat asam. Saya melepaskan besi cengkram sepatu mereka agar mereka bisa masuk dan tidak merusak kemah, kemah yang kelihatan seperti biwak, karena tiangnya kami pendekkan. Kami disini mempunyai peralatan masak dan dua tabung zat asam yang penuh. Camp darurat seperti ini tentu tidak begitu nyaman, tapi cukup utk melindungi kami berenam dari tempratur yang sangat dingin di luar. Untungnya sekarang angin tidak ada. Dimalam ini Everest kelihatannya sangat damai dengan kami. Saya mengizinkan Apa dan Dawa pergi turun. Besok saya mau berkomunikasi ke bawah.

Sekarang mulai apa yang Bashkirov bilang secara Diplomatis " Drama di Malam Hari",
Vinogradski sepanjang malam selalu memasak air, dan selama itu juga saya dan Bashkirov bergantian menggilir zat asam untuk orang indonesia yang sudah kelelahan ini, bergantian menggilir zat asam utk mereka, karena kami harus menghemat zat asam utk mereka, supaya cukup malam ini. Kalau seorang dari mereka agak kelamaan menunggu pembagiannya, maka mulailah dia menjerit-jerit dan berdoa-doa. Kami bertiga bekerja sekuat tenaga hampir tanpa memerlukan sepatah kata malam itu.

Mentari Pagi datang, tanpa angin, dengan warna yang berwarna-warni indah sekali. Ketika kami keluar dari kemah, tampaklah panorama dari Lhotse, Makalu dan Kanchenjunga dari arah timur dan selatan, sedangkan puncak Everest sedang mencair oleh silaunya matahari pagi. Sekarang kita tinggal turun dari pendakian, keberhasilan mencapai puncak, benar-benar berhasil kalau semua selamat sampai di Basic Camp.

Kami masak air yang terakhir, dan semua mendapat bagian minum air panas. Mental dari Kopassus telah pulih kembali, mereka selamat dari bahaya kebekuan. Zat asam telah habis, tapi karena kami sangat bagus beraklimasi dan tadi malam mereka tidur memakai tabung zat asam, sekarang kelihatan hasilnya yang positif. Orang bertiga itu bergerak pelan, tapi pokoknya mereka bergerak. Saya rasa, Apa dan Sherpa lainnya yang berada di Sadel Selatan pasti akan menyongsong dan menyambut kami. Pagi ini dunia menunjukkan sinarnya yang indah sekali ketika kami mulai turun.

Keaadan sekarang semua stabil, saya ingin sekali menyelesaikan urusan privat saya yang masih tetap saja, menggantungi hati saya. Diketinggian 8400m saya melihat-lihat, kalau-kalau saya bertemu jenazah Scot Fischer, padahal kemarin saya sudah mencoba mencarinya dengan sia-sia. Sekarang saya melihat dia, saya tidak menemuinya kemarin, karena kemarin hari sudah gelap, padahal dia tergeletak kira-kira hanya 30m dari kami. Saya harap "Misi" saya utk Jeanie (Istri Scot) terpenuhi. Bendera yang penuh tulisan dari istri Scot dan teman-temannya, saya letakkan disana. Walaupun sebenarnya saya ingin membalutnya dengan bendera itu, tapi karena waktu yang mendesak dan juga tanggung jawab saya dengan xpdc yang sekarang, maka saya melakukan janji saya yang terpenting dan sangat menyedihkan ini, dengan dibantu oleh Vinogradski menguburkan Scot, yang hampir seluruh tubuhnya sudah tertutup salju. Kami menimbun Scot dengan salju dan batu-batu, dan diatasnya saya tandai dengan gagang linggis yang kami temui disekitar itu. Vinogradski dan saya sampai di Sadel Selatan tengah hari .

Misirin, Iwan dan Asmujiono ada di balkon (batu besar datar) sedang menghirup tabung zat asamnya. Disini di Sadel Selatan mereka bisa bernafas lega. Meraka Berhasil. Kami minum teh, dan menyiapkan diri untuk tidur.

Besok paginya, saya pergi meliwati Sadel menuju ke ujung tidak jauh dari tepi Kangshung, dimana tahun lalu Tragedi di malam yang kejam saya meninggalkan Yasuko Namba disana. Saya menemui dia, sebagian tertutup salju dan es. Ranselnya sudah tidak ada, isinya berserakan disana. Saya mengambil beberapa barangnya, yang nanti akan saya serahkan untuk familinya. Dan setelah itu saya kubur tubuhnya yang mungil dengan batu-batuan, dan saya tandai dengan dua linggis yang saya temui disana. Disamping kesedihan yang dalam atas kehilangan teman yang menimpa diri saya, hanya itulah yang bisa sedikit saya kerjakan tanda hormat saya kepada famili Yasuko dan Scot. Secara kebetulan terpikir di benak saya, diwaktu Iwan, Misirin dan Asmujiono yang siap bersedia melihat maut didepan mata mereka. Juga terpikir oleh saya, famili yang kehilangan seseorang disini, bagaimana sakit dan sedihnya mereka.Tapi saya tahu, keberhasilan mencapai puncak ini, akan terus seperti umpan orang yang tidak ada pengalaman untuk mendaki gunung ini.

Misirin, Iwan, Asmujiono, Apa, Dawa, Bashkirov, Vinogradski dan saya turun gunung dan bergembira dengan keberhasilan kami. Banyak hal yang kecil atas keberhasilan kami, terutama nasib baik ada di pihak kami. Ekspedisi Indonesia telah selesai, tanpa meninggalkan kesedihan di hati saya. Selengkapnya...

U.S. Criminal History in Indonesia by S. Brian Willson 1999

U.S. SENATOR SPARKMAN: "At a time when Indonesia was kicking up pretty badly--when we were getting a lot of criticism for continuing military aid--at that time we could not say what that military aid was for. Is it secret anymore?"
U.S. SECRETARY OF DEFENSE ROBERT MCNAMARA: "I think in retrospect, that the aid was well justified."
SPARKMAN: "You think it paid dividends?"
MCNAMARA: "I do, sir."

--Hearings on Foreign Assistance, 1966,
before the Senate Committee on Foreign Relations
"The United States wished things to turn out as they did, and worked to bring this about. The Department of State desired that the United Nations prove utterly ineffective in whatever measures it undertook. This task was given to me, and I carried it forward with no inconsiderable success."
--Daniel Patrick Moynihan, then-U.S. Ambassador to the United Nations, in a cable to Secretary of State Henry Kissinger on Jan. 23, 1976 muting U.N. opposition to Indonesia's Dec. 7, 1975 invasion of East Timor

"It is the explicit policy of the Indonesian security forces to meet peaceful and unarmed civilian protests with force. Military training from the United States thus directly undermines the democratic movement in Indonesia."
--Megawati Soekainoputri, Indonesian dissident,
in a March 18, 1998 letter to U.S. President Bill Clinton

When Indonesia won its independence from the Dutch in 1954, the U.S. took notice. The fourth most populous nation, the largest archipelago-state in the world made up of thousands of mineral-rich islands stretching 3,000 miles across, was no longer in the hands of the "West." President Sukarno was considered a "neutralist" and a leader of the "Third World" nonaligned nations seeking self-determination, a movement threatening western control.

As early as 1955 the CIA and the Pentagon were attempting to undermine Sukarno. This interference included attempts to steal elections, creation of paramilitary sabotage units, building networks with the military, and assassination plans.

Dedicated to raising standards of living, President Sukarno nationalized Dutch-owned industries, including in 1965 the oil reserves. In October l965 General Suharto siezed power, a man who had served both the Dutch and the Japanese. What followed has been called "One of the most savage mass slaughters of modern political history" (New York Times, March 12, 1966), a conclusion echoed in a 1968 CIA report. An extraordinarily brutal campaign of repression of Indonesia's population was coordinated by Suharto and his cohorts with international corporations and investors, freeing them to plunder Indonesia's extensive oil and natural gas reserves, rich mineral deposits and dense forests.

The relationship between the U.S. and Indonesian military under Suharto intensified with training and provision of weapons. Subsequently, U.S. diplomats and CIA agents disclosed that they had systematically compiled "death lists" of "Communist" operatives, from top echelons to village cadres, regularly providing names to the Indonesian military. Howard Federspiel, an Indonesia expert at the State Department in 1965, declared, "No one cared, as long as they were Communists, that they were being butchered." Torture was routine and death squads murdered at will. Estimates range from 500,000 murdered to more than one million, with 750,000 political prisoners, uncounted thousands of whom died of malnutrition and untreated illness.

On December 7, l975, Indonesia's armed forces invaded the former Portuguese colony of East Timor, only hours after the departure from Jakarta of U.S. Pres. Ford and his Secretary of State Henry Kissinger. Columnist Jack Anderson reported that Pres. Ford had declared: "We had to be on the side of Indonesia." Subsequently Henry Kissinger has confirmed they approved the invasion. Anderson also reported that "five days after the invasion, the United Nations voted to condemn the attack as an arrant act of international aggression. The U.S. abstained...The U.S. delegate (Daniel Patrick Moynihan) maneuvered behind the scenes to resist U.N. moves aimed at forcing Indonesia to give up its conquest." By 1989, Amnesty International estimated that Indonesian military forces had murdered 200,000 E. Timorese of a population of 600,000-700,000, a holocaust proportionately more brutal than the simultaneous campaign of Pol Pot in Cambodia.

The U.S. State Department has consistently supported Indonesia's (illegal) claims to East Timor while downplaying the slaughter. Since the invasion, the U.S. has continually trained Indonesia military while approving sales of over $1 billion in weaponry, including aircraft and assault rifles. Under President Clinton $148 million worth of military hardware has been granted as well as secret Green Berets training to Indonesia's feared Kopassus counterinsurgency units in defiance of Congressional prohibitions.

Western governments, including the U.S., knew from intelligence sources as early as July l998, that the Indonesian military was working with recruited armed militias to destroy the impending independence referendum. Nonetheless, the U.S. was providing training to the Indonesian Air Force as recently as summer 1999, and U.S. Secretary of Defense William Cohen reported that only a week before the August 1999 referendum U.S. and Indonesian military personnel were conducting joint operations.

The incredulous "necessary" illusions about Indonesia are revealed by Clinton administration officials recently referring to Suharto as "our kind of guy," and Clinton's recent statement that E. Timor is "still a part of Indonesia." E. Timor has never been a part of Indonesia! The history of U.S support for Indonesia's repression represents the normal pattern of U.S. global hegemonic policies. This behavior can be understood partially by recognizing a huge structural problem: the 4.5% of the world's population living in the U.S. consume collectively nearly half the world's resources. To continue this extraordinary exploitation requires belief in an ideology that nobly justifies (or conveniently denies) lawless interventions that cause extreme violations of human rights. An arrogance gone mad, explains with incredible double speak, policies of imperialism, no matter the form.

The people here as well as elsewhere deserve a U.S. government committed to upholding international law and the preservation of human rights for all people, everywhere. The hope is in a popular movement that can effectively demand such compliance, while understanding the necessary linkage between domestic values and exploitive policies in order to seek an alignment rooted in justice for all. Selengkapnya...



Selengkapnya...

Operasi Pendaratan Di Pontian, Johor Baru dalam Kampanye Dwikora

Operasi ini sebenarnya disebut Ops A, yaitu operasi intelijen yang lebih menekankan hasil pada efek politis daripada efek militer. Misi yang diemban pasukan ini adalah untuk mendampingi gerilyawan local dalam operasi militer, memberi pelatihan pada kader kader setempat yang dapt dikumpulkan di daerah sasaran, dan setelah dianggap cukup mereka akan kembali ke pangkalan.
Dari keterangan seorang anggota MArinir yang kembali pada tahun 1967, Serma Z. Yacobus, yang dalam operasi tersebut masih berpangkat kopral, di dapat keterangan sebagai berikut :

Tim 3 dari Kompi Brahma II menggunakan kapal patroli cepat, milik Bea Cukai. Tim operasi terdiri dari 21 anggota. Rombongan dibawa menuju suatu tempat diperbatasan pada tanggal 17 Agustus 1964 sekitar pukul 20.00 waktu setempat. Pelayaran memakan waktu sekitar 4 jam.
Setelah mendapat perintah dari masing masing komandan tim dan juga menerima perlengkapan tambahan, sekita pukul 01.30 tengah malam rombongan menerima briefing dari komandan basis II, dilanjutkan dengan embarkasi ke dalam 2 perahu motor yang telah dipersiapkan. Sembilan orang sukarelawan lokal dari Malaysia juga ikut dalam tim dan akan bertindak sebagai penunjuk jalan. Dengan demikian jumlah tim menjadi 30 orang.
Dengan menggunakan formasi berbanjar, berangkatlah kedua perahu tersebut menuju sasaran. Salah satu mengalami kerusakan mesin dan akhirnya kedua tim pun menjadi satu menuju sasaran. Sekitar pukul 06.30 kedua tim sampai ke daerah sasaran tanpa diketahui oleh musuh. Ternyata daerah pendaratan merupakan daerah rawa rawa yang berlumpur. Kedua tim memutuskan untuk bertahan di situ yang jaraknya sekitar 50 meter dari pantai pendaratan. Namun rencana penyusupan ini dikhawatirkan sudah diketahui oleh musuh, sehingga mereka memutuskan untuk tidak melanjutkan gerakan dahulu dan tetap berlindung di semak semak sambil menunggu hari menjadi gelap. ( Ulasan Spahpanzer : Gw pernah baca artikel di internet entah di mana gw lupa, ternyata memang banyak operasi penyusupan rahasia ke wilayah Malaysia yang sengaja dibocorkan oleh oknum oknum di dalam TNI sendiri ke pihak lawan, menurut artikel tersebut ).
Pukul 19.00 tim baru dapat meninggalkan tempat persembunyian dan mencoba menyusuri medan berawa tersebut dengan susah payah dan pukul 03.00 pagi mereka beristirahat. Demi keamanan, kedua tim berpisah. Tim I dipimpin serda Mursid sebagai komandan tim, dan tim 2 dipimpin Serda A. Siagian. Rupanya kedudukan infiltran sudah diketahui pasukan keamanan setempat, kerana setelah 3 jam pasukan berada di situ, kedudukan mereka sudah dikepung musuh. Diperkirakan kekuatan musuh satu peleton ( 30 – 40 orang ).
Musuh melakukan tembakan pancingan untuk mengetahui posisi pas pasukan, disusul dengan ledakan granat tangan. Maka pertempuran pun tak dapat dihindarkan lagi.
Kemampuan bertempur musuh ternyata masih di bawah kemampuan pasukan Marinir. Beberapa orang musuh tertembak mati. Di pihak tim gugur satu orang penunjuk jalan. Merasa tidak dapat mengimbangin Marinir pertempuran tersebut, makan pihak musuh mendatangkan bantuan 2 helikopter dan satu pesawat. Namun sebelum bantuan tersebut tiba, pasukan Marinir telah bergerak meninggalkan lokasi kontak senjata dan mencari tempat yang lebih aman untuk bertahan dalam raa rawa tersebut.
Musuh pun kemudian menggunakan anjing penjejak untuk melacak kedudukan tim Marinir. Pada tanggal 19 Agustus 1964, komandan tim memerintahkan 2 penunjuk jalan asal Malaysia untuk melakukan pengintaian dan mencari informasi dengan menyamar berpakaian seperti penduduk biasa. Namun hingga senja, keduanya belum juga kembali. Untuk mengatasi keragu raguan, komandan tim memutuskan untuk tidak menunggu mereka lebih lama lagi. Pasukan segera bergerak meninggalkan lokasi. Senjata dan perlengkapan keduanya disembunyikan di dalam lumpur untuk menghilangkan jejak.
Dalam perjalanan, tiba tiba tim mendapat serangan mendadak dari musuh. Dengan semangat Marinir “Pantang mundur, mati sudah ukur” tim melawan musuh dengan gigih. Beberapa musuh terluka. Hal itu didasarkan pada keterangan penduduk setempat yang sepat ditemui tim setelah selesainya pertempuran. Dipihak Marinir, satu orang penunjuk jalan asal Malaysia gugur.
Malam itu tim terpaksa beristirahat lagi sambil berlindung selama satu hari dan selanjutnya kembali bergerak, namun mereka tidak dapat menuju sasaran yang direncanakan karena sudah diketahui oleh musuh. Hal ini diketahui dari adanya bunyi rentetan tembakan. Rupanya telah terjadi kontak senjata antara tim yang dipimpin Serda Mursid dengan pihak musuh. Tugas tim kedua adalah mengadakan pencegatan, namun karena tim tidak dibekali dengan alat komunikasi, maka tugas ini pun gagal.
Satu jam kemudian pertempuran pun reda. Tim Marinir memutuskan untuk bersembunyi di rawa tak jauh dari perkampungan penduduk. Setelah 1 jam beristiharat, gerakan diteruskan menuju kampung dan sampi di sebuah rumah dan menemui penghuninya yang mengaku bernama Hasan. Hasan ini mengaku keturunan Indonesia asal Jawa.
Di rumah tersebut tim mendapat pelayanan yang cukup baik, sehingga terjadilah percakapan yang kurang hati hati dari tim yang menyangkut penugasan tim. Tanpa rasa curiga, Hasan pun menyatakan bersedia bekerja sama dengan tim Marinir. Bahkan Hasan pun sudah menunjuk tempat perlindungan yang jaraknya tidak jauh dari rumahnya, sekitar 1 km dari perkampungan.
Pada tanggal 30 Agustus tengah hari, datanglah Hasan membawa seorang laki laki yang diakuinya sebagai pamannya ke tempat persembunyian tim, untuk menyampaikan informasi. Kemudian ia menyarankan agar tim berpindah lagi ke gubuk lain sejauh 500 meter dari persembunyian pertama. Karena sudah terlanjur percaya pada si Hasan, tim pun segera bergerak ke lokasi yang ditunjukkan.
Namun apa yang terjadi ?
Sekitar setengah jam kemudian, tim mendapat serangan mendadak sehingga tim kehilangan 2 anggota yaitu Prajurit Satu Kahar dan seorang guide asal Malaysia. Kopral Yacobus terkena tembakan di siku kanan, hngga senjatanya lepas. Prajurit Satu Siahuri terluka parah, sedangkan Kopral Priyono berhasil menyelamatkan diri ke sungai. Di tengah tengah situasi terjebak tembakan gencar tersebut, musuh berteriak “ Surender !!! Surender !!!” Teriakan ini diulangi lebih keras “Kalau mau hidup, Surender cepat !!!”
Anggota tim yang pingsan dan banyak mengeluarkan darah ini tertangkap musuh. Selanjutnya mereka dirawat seperlunya oleh musuh dan diserahkan ke Balai Polis setempat.
Ternyata si Hasan ini adalah pengkhianat. Pura pura mau menolong ternyata ada udang di balik batu. Ia mengharapkan hadiah dari aparat keamanan setempat, apalagi jika dapat menangkap pasukan Marinir Indonesia. Siagian sendiri akhirnya tertawan, sedangkan 3 anggota tim lainnya berhasil kembali ke pangkalan di Indonesia dengan selamat.
Regu satu yang dipimpin Serda Mursid akhirnya sampai di Gunung Pulai. Namun karena lokasi sasaran sudah diketahui musuh sebagai daerah tujuan tim, pasukan Marinir dikepung oleh musuh yang jauh lebih kuat. Terjadilah pertempuran sengit hingga akhirnya pasukan Serda Mursid kehabisan peluru. Mereka tetap gigih melawan hingga akhirnya 3 orang anggota pun gugur, termasuk Serda Mursid sendiri. Sisa anggota regu tertawan musuh.
Maka berakhirlah kisah heroik operasi pendaratan di Pontian, Johor Baru, Malaysia.

Nama nama anggota Marinir yang gugur di Pontian :
1. Prajurit Satu Kahar ( IPAM )
2. Sersan Mayor Satu Mursid ( IPAM )
3. Sersan Satu Ponadi ( IPAM )
4. Sersan Satu Mohamadong ( Pasinko )
5. Sersan Dua Yacob ( IPAM )
6. Sersan Dua Tohir ( Batalyon 3 )
7. Kopral Syahbuddin ( Pasinko )
8. Kopral Dulmanan ( IPAM ) Selengkapnya...

"Penyerangan ke Kalabakan

Diambil dari buku Sejarah Korps Marinir terbit tahun 1971:
Serangan ke Kalabakan dilakukan pada tanggal 30 Desember 1963 pada pukul 20.30 ( pihak Inggris menyatakan pukul 21.00 ) dan berhasil baik. Serangan dilakukan oleh satu peleton Sukarelawan yang dipimpin oleh Sersan MArinir Rebani dari Batalyon-1 Marinir. Setelah tiba di lokasi dan mengetahui persisi posisi lawan, maka pasukan di bagi 2 dan melakukan serangan dari 2 arah yang berlainan. Lawan tidak mengetahui kedatangan pasukan Rebani, sehingga serangan yang di dahului oleh lemparan granat membuat musuh terkejut dan kocar kacir. Pasukan sukarelawan ini bahkan sempat naik ke rumah yang dijadikan posko lawan dan menyaksikan dengan mata kepala sendirihasil serangan tersebut yang menewaskan delapan personel musuh, termasuk komandan kompi nya yang berpangkat Mayor. Ini uga diakui oleh pihak Inggris. Selain yang tewas terdapat juga 38 orang yang terluka ( versi Marinir ). Paskan penyerang juga berhasil merampas satu pucuk bren BAG standar NATO, 7 pucuk senapan otomatik ringan ( SOR ) FN, sepuluh pucuk sten Gun, dan satu pucuk pistol (pihak Inggris menyangkalnya).
Namun pasukan penyerang kehilangan satu orang anggotanya." Selengkapnya...

pertempuran den bravo vs sniper


serbuan ke hotel wijaya sktr januari 2001,yg mimpin serbuan kasi ops sektor, nyoman cantiasa. setelahdari ambon sempet jadi danyon 811 AK Gultor,dan Seko btjajar,sekarang jadi DanDenma kopassus .saat itu msh kapten.
karna gemes ketika baru tugas disana kok sepertinya tdk sulit menekan penembak2 gelap tsb,tapi pasukan TNI seperti kurang berani.
klo lg patroli tiap liat tembakan gelap biasanya langsung memerintahkan satu regu terdekat secara serempak menebak ke arah tembakan gelap dan biasanya besok paginya ada acara berkabung.

diteliti ternyata banyak tembakan gelap berasal dari hotel wijaya,maka disusun kekuatan utk menyerbu,unsur utamanya dikumpulkan dari personel2 sat 81 yg sedang tugas disana.
serbuan waktu subuh,pihak lawan tdk menduga sebuan sehingga banyak yg tewas. ditemukan banyak uang dan miras,diduga malam itu lawan banyak yg mabuk.
kondisi bangunan banyak dilubangi,lobang2 tsb menghadap ke pos2 pengamanan utk memudahkan penembakan.
setelah serbuan usai diketahui pihak lawan banyak anggota Polri bahkan sampai dgn pangkat pamen ada juga anggota TNI (kita anggap semuanya desertir)
setelah kejadian itu ambon berangsur aman.
pasi ops sektor/arjuna 2, kepalanya dihargai ratusan juta saat itu.

jam 2 malem laporan ke pangdam (made yase) bahwa akan diadakan serbuan. pangdam agak kaget tapi diizinkan.serbuan akan dilaksanakan saat subuh,terang tanah. karna kondisi sangat gelap klo malem kawatir friendly fire.

sebelumnya sudah disiapkan pasukan..
selaku kasi ops sektor mencari pasukan yg kualifikasi perang kota..yonif2 yg ada agak meragukan.
minjam pasukan ke dan yongab (riki samuel,skrg danpusdik passus),permintaan spesifik anggota sat 81 ( 1 ton ) ditambah parako (karna kurang) ada yg dukungan kendaraan berat utk bantuan tenbakan dan perlindungan.

sniper ada 5 pucuk (semua kopassus),ditaruh di 2 titik.

walau lawan tdk siap,saat serbuan tetap terjadi kotak tembak..lumayan sulit karna lawan diposisi ketinggian.
begitu berhasil pertahanan didobrak masuk,yg memegang senjata dan melawan langsung mati,yg tdk bersenjata ditahan.
korban tewas lawan klo 20 orang sih lebih..

yg ditahan jg banyak,banyak jg yg anggota. diantaranya perwira polri ( 1 letkol,2 mayor,4 kapten) tni 2 orang perwira.
ada banyak juga cewe2. diduga malemnya pesta miras dan seks.
diserahkan ke PM semua urusannya. (orangnya siapa aja lbh baik tanya ke PM,hehe..)

Selengkapnya...

pembaretan kopassus di nusakambangan

Siang itu aku menerima telepon dari suamiku (waktu itu masih pacar), dari nada awal aku tahu dia akan mengatakan tak bisa memenuhi janji untuk pergi ke Dieng seperti yang kami rencanakan, memang harus kuat hati punya pacar (dan suami) seorang wartawan, setiap saat tugas memanggil.
"Humairah...., kau mengajar sampai jam berapa?" tanyanya.
"Hari ini jamku sudah habis mon aimee...." dugaanku makin kuat, pasti dia akan pergi sabtu ini dan mungkin sekarang akan mengajakku pergi lebih dulu buat nebus dosa...
"Rencana Dieng kayanya batal...., maaf...", tuh khan benar....
"Aku dapat undangan meliput pembaretan kopasus di NK"
"Harus menginap...." sambungnya lagi...
Aku tak berhasil menyembunyikan kekecewaan dari desah nafas yang tak sengaja kuhembus..., betapa tidak...., dua tahun aku bekerja di Banyumas ini dan belum sekalipun menghirup hawa dingin dataran tinggi dieng yang hanya bisa kulihat di gambar saja. semenjak aku masih belum pulang ke indonesia.
Beberapa saat kami saling diam, aku tahu dia pasti merasa bersalah...
tiba tiba dia bertanya...
"Za...., u still keepin ur press ID?"
"Yup...."
"Kau ikut saja, kucoba lobby ke mereka biar kamu bisa masuk rombongan"
IDE GILA! pikirku...., tapi kapan lagi bisa lihat latihan perang live?
"Pasti boleh, itu bagus buat mereka, biar penerbitan kampus juga tahu tentang kopasus"
"Tapi apa hubungannya sama majalah medis mas?" aku masih ragu...
"Pasti ada..., nanti aja kita cari" nekat sekali dia...
"I'm not so sure..." meski jujur keraguanku makin menipis
"I'll try to told them now" pungkasnya dan segera menutup telpon...

Sore itu juga..., aku telah berada dalam rombongan yang berkumpul di korem wijayakusuma, suamiku berhasil meyakinkan humas untuk memasukkan aku dalam daftar rombongan wartawan, kebetulan track recordku sebagai jurnalis sebuah majalah medis nasional memang masih diakui (waktu itu), meski aku tak seaktif ketika masih belum mengajar, yang lebih penting lagi, mereka menganggap aku mewakili dunia internasional (hehehehehe). Pengaruh papa ternyata masih lumayan....
Setelah breifing di korem, kami langsung masuk mobil untuk perjalanan ke cilacap, Kolonel S. penerangan kodam yang menyertai kami sempat memberikan beberapa petunjuk meski beliau mengaku hanya mengawal saja, nantinya kami akan di LO oleh staff penerangan Kopasuss sendiri.
jam 7, selepas makan malam di cilacap, kami diseberangkan dengan kapal pengayoman 2 milik dep kehakiman menuju ke dermaga sodong di NK. sesampai di sana perjalanan dilanjutkan dengan truk militer menuju pantai permisan, TKP pembaretan.
dalam rombongan hanya dua wanita yang ikut, selain aku juga ada reporter trijaya. gadis manis kecil berjilbab. (waktu itu izza belum pake jilbab), ternyata ini jadi masalah, untuk aku yang berambut pendek (waktu itu) staff penerangan tak punya masalah, tetapi rekan dari trijaya memakai jilbab berwarna putih. semula kami tak tahu kenapa ini jadi masalah, tetapi sesampainya di permisan dan kami disodori baju loreng 'darah mengalir' khas kopassus, kami baru tahu bahwa kami juga harus memakai seragam dan kamuflase. staff penerangan tergopoh gopoh mencari kerudung hitam untuk rekan dari trijaya. tapi akhrinya mereka mendapatkannya "pinjam dari ibu kalapas" saat kutanya dari mana mereka dapat kerudung di NK saat malam malam begitu.
saya dan rekan trijaya dipersilahkan ke rumah kalapas permisan untuk berganti baju, sementara para cowok dengan cuek berganti seragam di dalam truk.
tepat jam sembilan, kami mendapat briefing dari staff penerangan, untuk menjelaskan jadwal dan rencana acara, juga ketentuan yang harus kami ikuti selama latihan terakhir berlangsung,
"Jangan meninggalkan fox hole kalian, jangan sampai kena peluru nyasar" peringatan itu terdengar keras...
usai briefing tengah malam, kami ditunjukkan fox hole kami, sebuah lubang besar tak jauh dari pantai permisan lengkap dengan kamuflasenya, di sana telah ada matras untuk kami.
"untuk merasakan suasana latihan, teman teman menginap disini sampai dini hari nanti " kata staff penerangan sambil tersenyum.
"jangan keluar dari fox hole ini ya nanti kena bom..." katanya lagi...
hanya soerang staff yang bertugas sebagai LO kami saja yang menemani di lubang itu. dan kami (wesss kami...) para wartawan mulai iseng ga ada kerjaan.
ada yang langsung mendengkur, ada yang mendengarkan musik, ada yang pacaran (hehehehe), beberapa teman mengutuki aku dan suamiku (masih pacar) dan menggoda dengan menyebut liputan kami adalah liputan kasih sayang....
entah berapa lama kami menunggu, beberapa teman sudah tertidur di matrasnya, aku juga sempat tertidur di lengan suamiku setelah dia membersihkan panasonic DVXnya.
sempat ada gurauan dari Letnan A sang LO kami "ternyata sama, kalau prajurit membersihkan senjatanya saat senggang, wartawan membersihkan kameranya""tapi peluru kalian kadang lebih tajam" katanya lagi.
sekitar pukul 3 dini hari kami dibangunkan oleh dentuman bom, pak biantoro wartawan senior dari elshinta mencoba melongok dan bummmmm! pak bi terpelanting jatuh bukan karena ledakan tapi kaget oleh suara bom yang meledak tak jauh dari fox hole, letnan A tersenyum senyum melihat pak bi yang sedikit bengong dan dari mulutnya keluar campuran sumpah serapah dan doa (aneh banget) kami langsung tahu... itu disengaja oleh kopassus agar para wartawan masuk dalam suasana latihan akhir. meski hanya latihan, suasana cukup menegangkan, bunyi rentetan machine gun dan desing ledakan bom bertubi tubi membuat suasana tak ubahnya pertempuran sungguhan. langit pagi juga terang benderang oleh kilatan peluru peluru yang menyambar. samar samar, dari arah hutan, terlihat sosok sosok prajurit calon kopassus yang berenang menuju karang pisau komando yang berada di arah laut, gelombang samudera indonesia memang tak ramah, namun terlihat mereka berusaha mencapai karang di tengah hujan tembakan. entah kenapa aku merasakan keindahan....., maskulinitas sikap keprajuritan ditengah dentum meriam dan desing peluru yang menjela jela, seperti sebuah lukisan yang terpampang di depan mata, sebagian kami (bukan teman radio tentunya) menemukan obyek menarik bagi 'senjata' kami, kamipun tak putus putus membidik mereka dengan kamera.suasana seperti ini berlangsung cukup lama....., sampai akhirnya sunyi dan para prajurit bersorak sorai.... mereka menguasai karang komando.

setelah wartawn keluar dari fox hole dan bergabung bersama danjen kopassus (waktu itu) mayjend sriyanto. kami sedikit geli melihat penampilan kami yang memang mirip orang habis perang, muka cemong oleh kamuflase dan pasir, juga baju dan alat alat. Beberapa petinggi Kopassus yang melihat kami sempat meledek "berapa musuh yang kalian bantai?" kata mereka sambil tertawa. aku sendiri melihat suamiku gemetaran, aneh... padahal dia pernah ikut pertempuran sungguhan.... tiba tiba dia teriak.... "Ijin ndan.... kebelet pipis..." sambil lari ke semak semak.... ternyata dia menahan kencing sampai gemetaran.... kami tertawa bebareng....
oleh danjen, kami diterangkan bahwa 139 prajurit telah mengikuti latihan berat di berbagai tempat selama 7 bulan, baik teori maupun lapangan, dan latihan di NK adalah sesi terakhir dari menu latihan mereka yaitu pertempuran rawa dan laut.
aku tahu para prajurit yang terdiri dari 29 bintara dan 110 tamtama itu pasti kelelahan luarbiasa setelah dilepas di hutan NK selama beberapa minggu, Hutan NK yang masih perawan dan dihuni berbagai binatang buas (terutama ular, banyak banget di sana jenisnya) menjadi candradimuka prajurit yang nantinya akan terdepan menjaga keutuhan dan kedaulatan negeri ini. namun tak kulihat sedikitpun rona kelelahan diantara para satria bangsa ini, suara nyanyian komando terus terdengar. Menurutt danjen, tak heran mereka sangat bahagia. entah berapa ratus kilometer mereka melakukan longmarch, entah berapa liter keringat yang mereka teteskan untuk menjadi anggota komando. Instruktur galak dan hukuman hukuman bagi yang melakukan kesalahan menjadi menu mereka selama tujuh bulan, baik di batujajar, tangkuban perahu maupun nusakambangan. Dengan kedisiplinan tinggi ini mereka jalani dengan tegar.
"Tak boleh ada kesalahan dalam pertempuran" ujar danjen.
Menariknya.... dalam dialog usai pembaretan.... seluruh prajurit minta ditugaskan di garis depan (saat itu aceh).
"kami akan menghajar seluruh musuh negara!". lantang seorang bintara dengan mimik serius.
Upacara pembaretan sendiri berjalan dengan khidmat, seluruh prajurit yang mendapatkan baret terlihat tegap dengan dada menggembung penuh rasa bangga, beberapa diantaranya bercampur dengan mimik haru.
usai pembaretan, mereka masih harus melakukan longmarch menuju pusdikpasuss cilacap. di sana keluarga telah menunggu... selamat bertugas komando!, bravo Kopassus! Selengkapnya...

Sepenggal Kisah Perebutan Jembatan

JANGAN membayangkan operasi pemulihan keamanan di Aceh seperti perang antara Amerika Serikat dan Irak yang merupakan perang konvensional. Operasi di Aceh ini adalah pertempuran melawan gerilya yang sporadis, yang tidak terduga kapan terjadinya. Biasanya pertempuran berlangsung jika pasukan Tentara Nasional Indonesia (TNI) memukul pertahanan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) atau dihadang oleh gerilyawan GAM dalam suatu patroli.

Salah satu kisah pertempuran yang cukup berkesan di hati prajurit TNI adalah perebutan sebuah jembatan yang melintasi Krueng (Sungai) Tingkeum di Desa Darul Aman, Kecamatan Peusangan, Kabupaten Bireuen, sekitar 50 kilometer ke arah barat Kota Lhok Seumawe, Rabu (21/5). Daerah tersebut dikenal sebagai basis pertahanan GAM. Wilayah itu menjadi tanggung jawab Detasemen Pemukul (Denkul) 1 Batalyon 712/Wiratama Manado, Sulawesi Utara, pimpinan Letkol Hipdizar.

Namun, sayangnya wartawan tidak berkesempatan meliput langsung jalannya pertempuran tersebut. Meskipun demikian, perebutan jembatan itu terus menjadi bahan cerita para prajurit selama dua hari wartawan berada di Markas Denkul 1 di Desa Matanggeulumpang, Peusangan.

"Coba kalau wartawan datang kemarin, bisa langsung melihat langsung. Itu pertempuran terbesar sejak kami enam bulan bertugas di sini," tutur Hipdizar hari Kamis lalu.

JEMBATAN di Desa Darul Aman itu panjangnya sekitar 500 meter dan berkonstruksi baja. Jembatan itu sangat strategis untuk menuju ke pedalaman Bireuen termasuk ke Desa Pante Raya yang merupakan basis GAM. Di tempat tersebut pernah dirayakan milad ke-26 GAM pada 22 Desember 2002. Oleh karena itu, perebutan jembatan menjadi penting bagi TNI untuk dapat menembus pertahanan GAM.

Jembatan tersebut sudah sejak beberapa hari sebelumnya diincar TNI untuk direbut. Namun, tampaknya GAM juga mati-matian mempertahankan jembatannya. Sejumlah bom rakitan diletakkan di sekitar penyambung wilayah itu. Selain itu, sejumlah pohon kelapa pun dirobohkan guna menghalangi orang yang menuju jembatan tersebut. Sekitar 100 meter ke arah selatan jembatan, jalan telah digali selebar tiga meter dengan dalam sekitar dua meter.

Untuk menembus jembatan itu sempat terpikir untuk menggunakan bantuan helikopter karena begitu gencarnya tembakan dari arah seberang. Namun, Denkul 1 tetap berusaha menggunakan kekuatan yang ada. Salah satu yang membuat mereka berhasil menembus jembatan itu adalah penggunaan dua truk Reo yang dilapisi baja antipeluru.

"Truk Reo ini sudah dikenal ditakuti oleh GAM," ujar Prajurit Kepala Ong Lee, pengemudi salah satu truk Reo, membanggakan truk yang dikemudikannya. Itu diketahuinya dari pembicaraan radio panggil handie talkie (HT) GAM yang frekuensinya ditangkap oleh Denkul 1, di mana GAM membatalkan penghadangan jika truk Reo ini lewat di basis GAM.

Warna kedua truk milik Komando Daerah Militer (Kodam) VII/Wirabuana, Makassar, Sulawesi Selatan (Sulsel) ini juga lain dari mobil/truk standar TNI yang biasanya hijau polos. Warna dua truk Reo ini loreng hijau, putih, hitam.

Sambil melaju kencang di jembatan, tembakan melalui senapan mesin SMR yang dioperasikan Kopral Dua (Kopda) S Mongkow dan Kopda ABD Haris terus diarahkan ke arah depan. "Selain tembakan, granat-granat yang dilontarkan dengan granate launching machine (GLM) meledak di kiri kanan truk. Tetapi saya terus melaju ke depan," ujar Ong Lee.

Tidak mudah untuk menembus pertahanan GAM itu. "Apalagi SMR saya sempat macet tiga kali. Buat tentara, hal yang paling mengkhawatirkan adalah jika senjata macet. Namun, teman saya membantu dengan tembakan senapan mesin minimi, sambil saya memperbaiki SMR," kata Mongkow. Maklum SMR tersebut sudah berumur 29 tahun, sedangkan gerilyawan GAM umumnya menggunakan AK47 versi baru. Pukul 11.00, akhirnya jembatan itu dapat dikuasai dan TNI membuat pos di rumah-rumah kosong dan sekolah yang dibakar. Selengkapnya...

Pertempuran di Bukit Sudan

TUBUH Praka Mardiles, 27, terkulai lemas di bangsal bata (bintara tamtama) kamar 3 Rumah Sakit AD Kesrem, Lhokseumawe. Tubuhnya yang hitam kekar ditutup selimut hingga dada. Lengan kanannya masih tertusuk jarum infus. Kondisinya mulai membaik setelah sempat kritis akibat peluru menembus kedua pahanya.
Walau merasa sakit, personel TNI dari Yonif 712/Sulawesi Utara ini masih bisa tersenyum. Bibirnya terus mengembang ketika Pontianak Post menjenguknya. "Agak mendingan Bang," katanya sambil mengulurkan tangan untuk menyalami.
Mardiles adalah satu di antara tujuh personel TNI yang cedera berat dalam kontak senjata Senin (9/6) lalu itu. Dia masih bisa diselamatkan karena peluru menghantam pahanya. Sedangkan teman-temannya yang tewas, rata-rata tertembus peluru di dada dan kepala. Mengerikan.
Cedera bujangan ini termasuk berat. Peluru yang menyerempet paha kanannya itu menembus kantong zakarnya. Bukan hanya itu. Peluru juga menembus paha kirinya. Itulah sebabnya, dia langsung terjerembab begitu terkena tembak. Untungnya, peluru itu tak menembus tulang kaki dan buah zakarnya. Itulah yang membuat dokter yakin bahwa dia bisa pulih dalam waktu dekat. "Tapi, sakitnya luar biasa," ujarnnya mengenang kontak senjata itu.
Mardiles lantas menyingkap selimutnya. Dia menunjukkan dua bekas lintasan peluru yang menembus kedua pahanya. Paha kanan Mardiles tampak dibebat perban. Begitu juga kantong buah zakar dan paha kirinya. Warna merah membekas di kedua pahanya. "Kondisi saya sudah sedikit membaik," tutur Mardiles.
Dengan nada bercanda, Mardiles menganggap luka tersebut adalah kenang-kenangan dalam operasi militer di Aceh. Peristiwa Senin kemarin dan timah panas yang menembus tubuhnya tak akan dia lupakan. Pria asal Palu, Sulawesi Tengah, itu bertugas di Aceh sejak 5 Desember 2002. Baru kali ini dia merasakan panasnya peluru. "Ini kenangan bagi saya," ucapnya.
Mardiles menceritakan, pertempuran di Bukit Sudan adalah yang paling dahsyat. Dia tak menyangka kelompok separatis GAM mencegat iring-iringan tiga truk yang mengangkut pasukan marinir dan anggota Batalyon Infanteri 712. Saat itu, tiga truk pasukan marinir dan Yonif 712 itu dari Desa Sukarame menuju Desa Matang Tiga. Truk pertama memuat 22 anggota Yonif 712. Sedangkan truk kedua dan ketiga masing-masing membawa 20 anggota marinir. Iring-Iringan truk bergerak pukul 15.00.
Di tengah perjalan, tepatnya di kaki bukit Sudan, sebuah granat launcher missile (GLM) meledak. Granat lontar itu hanya jatuh beberapa meter dari truk yang ditumpangi Mardiles. Mungkin, kalau granat tersebut mengenai truk, bisa jadi korban TNI akan lebih banyak. "Saya kaget sekali."
Mardiles dan kawan-kawannya langsung turun mengambil posisi. Situasinya sangat gawat karena GAM tidak henti-hetinya melepaskan peluru. "Tapi, itu tidak membuat saya dan teman-teman takut. Kami terus maju, berusaha mendekati asal tembakan," ceritanya.
Situasi pasukan TNI memang tidak menguntungkan. Lain halnya GAM yang sudah mengambil posisi strategis di atas bukit. Mardiles terus berusaha naik ke gunung yang mempunyai kemiringan 70 derajat itu sambil terus menembak ke arah musuh.
Salah seorang rekan Mardiles yang berada di depan terkena peluru. Dalam situasi seperti itu, dia berusaha menyelamatkan rekannya itu. Nah, saat berusaha mengevakuasi temannya, tiba kedua kakinya terasa panas dan nyeri. Dia ambruk karena kedua kakinya tak kuat lagi menahan tubuhnya. Timah panas menembus kedua pahannya.
Sambil membetulkan selimutnya, Mardiles terus bercerita. "Mata saya sempat gelap. Tapi, saya berusaha tetap tegar. Saya sadar bahwa itu di daerah pertempuran yang harus mengambil tindakan taktis di tengah kritis," paparnya.
Dengan menahan sakit, dia menggulingkan tubuhnya ke bawah bukit dan mencari cekungan tanah. Untung, ada batu sehingga posisi dirinya agak terlindung. Di situ dia mencoba bertahan. Beberapa saat kemudian rekan-rekannya datang menyelamatkannya.
Walau sudah tertembus peluru di paha, Mardiles mengaku tidak kapok. Dia siap ditugaskan kembali untuk melawan GAM. Dari nada bicaranya, Mardiles sangat membenci GAM. "Semoga GAM bisa dihancurkan oleh teman-teman," harapnya.
Bagi Mardiles, mempertahankan setiap jengkal tanah NKRI telah menjadi tanggung jawabnya. Dengan nada sedikit tinggi, dia mengaku siap diturunkan lagi dalam operasi militer di Aceh. "Kalau kondisi saya sudah sehat, saya akan meminta kembali perang lawan GAM," tegasnya, dengan tegar.
Apakah keluarganya sudah diberi kabar? Mardiles mengungkapkan, "Saya belum menyampaikan ke keluarga saya. Saya nggak mau jadi pikiran mereka. Kayak begini adalah berita yang tak mengenakkan."
Nasib yang sama dialami Praka Martin Martangela, juga dari Yonif 712. Bapak satu anak tersebut mengalami luka tembak yang lebih parah. Badannya yang tegap terkulai lemas karena paru-parunya tertembus timah panas hingga kempes.
Martin masih bersemangat bercerita tentang pertempuran yang hebat itu. Timah panas awalnya menembus dada sebelah kirinya. Lalu, peluru itu menembus paru-parunya hingga tembus ke perut sebelah kiri.
Rupanya, peluru itu datang dari arah atas. Maklum, posisi Martin berada di bawah bukit. "Saat itu, saya berusaha mengambil posisi untuk naik mengejar GAM," katanya dengan heroik.
Martin masih bisa bersyukur walau peluru menembus paru-parunya karena dia masih terselamatkan. Sebuah selang tampak menempel di dada kanannya. Selang itu digunakan untuk memompa kembali paru-parunya yang kempes. "Sudah sehat kok, Mas. Paru-paru saya sudah mengembang," jelasnya.
Martin mengaku masih ingat kejadian di Desa Matan Kumbang itu. Dia mengaku tak trauma atas kejadian tersebut walau timah panas menembus tubuhnya dan langsung menyungkurkannya ke tanah.
Setelah tertembus peluru, Martin langsung mencari tempat berlindung di cekungan tanah. Napasnya sesak. Dadanya meneteskan darah. Sakit tubuhnya seperti panas terbakar.
Begitu mengalami nahas itu, Martin langsung teringat keluarganya di Palu. Terutama dia teringat anak laki-lakinya yang baru berumur satu tahun. Dia mengaku siap ditugaskan kembali bila sudah sembuh. "Saya tak kapok."
Pertempuran di Matan itu memang luar biasa. Begitu truk pertama yang ditumpangi Yonif 712 mendapat serangan, dua truk Marinir mundur. Pasukan komando Angkatan Laut tersebut mengambil posisi menyerang dari belakang GAM. Dengan cara itu, GAM terjepit.
Namun, saat pasukan Marinir itu melakukan pembersihan, dua anggota GAM yang berpura-pura tertembak tiba-tiba melepaskan tembakan. Tiga anggota Marinir pun gugur.
Bala bantuan TNI kembali naik ke atas gunung. Saat situasi mereda, tanpa terduga, masih ada anggota GAM yang melepaskan tembakan. Akibatnya, empat anggota TNI lainnya tewas. Total tujuh personel TNI tewas. "Ini risiko perang. Yang jelas, kami akan terus mengejar GAM hingga tetes darah terakhir," janji Martin.(*) Selengkapnya...

“MENINGKATKAN KEWASPADAAN DI DAERAH PERBATASAN”

Bertugas di daerah perbatasan memang membutuhkan kehati-hatian sekaligus keberanian. Hampir di setiap daerah perbatasan, kerapkali muncul tindak kejahatan yang yang membutuhkan penanganan. Saat bertugas mengawal kedaulatan NKRI di daerah perbatasan Indonesia-Timor Leste inilah nasib kurang beruntung dialami Lettu Art Tedy Setiawan. Prajurit TNI kelahiran Bandung, 9 Agustus 1978 ini, bertugas di pos Seumakir, Atambua, wilayah yang berbatasan langsung dengan Timor Leste. Dia bertugas di sana sejak Desember 2004.

Lulusan Akmil tahun 2000 ini, sebelumnya bertugas di Yon Armed 8/Kostrad, Jember, Jawa Timur. Musibah yang menimpanya terjadi pada 21 April 2005. Waktu itu tepatnya pukul 08.30 WIB Lettu Art. Tedy Setiawan melihat 3 orang yang mencurigakan sedang membawa tiga jerigen berisi BBM dan satu dus minuman kaleng. Lettu Art. Tedy yang bertugas sebagai Komandan Patroli memerintahkan para anggotanya untuk melakukan patroli pengendapan di sekitar sungai Malibaka dengan membagi tim menjadi dua kelompok.

Kelompok 1 dipimpin oleh Lettu Art Tedy Setiawan beserta 7 orang anggotanya, kelompok II dipimpin oleh Serka Abdullah Rohim yang juga beranggotakan 7 orang. Setelah meyakini ada ketidak beresan dari para penyelundup diperbatasan tersebut, Lettu Art Tedy memerintahkan Pratu Jualin dan Pratu Taufik untuk melaksanakan penyergapan dari arah depan, sementara dia beserta yang lain melakukan penyergapan dari belakang. Saat akan ditangkap itulah para penyelundup melakukan perlawanan. Salah seorang dari mereka yang ternyata perempuan berteriak-teriak sambil berlari, sedangkan dua lelaki lainyya melempari para prajurit dengan batu sambil mengancam akan melemparkan parang kearah Pratu Jualin.

Di tengah hiruk pikuk perlawanan dari para penyelundup itulah, tiba-tiba serentetan tembakan yang tak begitu jelas dari mana arah datangnya menghujani para prajurit. Lettu Art Tedy Setiawan yang berada di sebelah kanan anggotanya, terkena tembakan yang tak terduga tersebut. Kontak senjata antara para anggota TNI dengan penembak gelap pun tak terhindarkan. Setelah 10 menit kontak senjata berlangsung, Pratu Jualin dan Pratu Taufik segera mundur menuju titik pengendapan. Pratu Jualin segera memberikan pertolongan sementara Lettu Art Tedy yang terluka di bagian paha kirinya. Dengan tandu darurat dari empat baju loreng anggota yang di ikat batang kayu inilah, Lettu Art. Tedy segera di evakuasi ke pos Koki Dilomil. Setibanya di pos tersebut, Lettu Art Tedy mendapatkan pertolongan untuk kemudian di Evakuasi Ke RSU Atambua. Karena kondisi luka tembaknya cukup serius dan memerlukan perwatan lebih intensif, dirawat di RST TK IV Kupang.

Pada tanggal 23 April 2005, Lettu Art Tedy dievakuasi ke RSAD Udayana Bali kemudian dirujuk Ke RSU Sanglah Denpasar untuk penanganan lebuh lanjut. Karena peralatan di RSU tersebut tidak memadai, maka sejak 25 April 2005 Ia di rawat di RSPAD Gatot Soebroto Jakarta. Saat ditemui Patriot, lajang asal Sunda Ia masih terkulai lemas di pembaringan. “saya baru aja melakukan operasi jadi seluruh tubuh ini masih lemas, “ ujarnya. Dengan terbata-bata, dia menceritakan panjang lebar seluruh detil kronologi musibah yang menimpa dirinya. “saya hanya mengingatkan teman-teman yang bertugas di perbatasan, agar lebih hati-hati lagi. Kita mesti meningkatkan kewaspadaan di daerah perbatasan” paparnya. Selengkapnya...

PERTARUHKAN NYAWA DEMI INCAR SENJATA MUSUH

Pada mulanya Kopda Zulfan Nasution, dari Kesatuan Yonif Raider 323 ini sedang mempersiapkan makan siang di salah satu kampung. Namun dengan naluri prajurit sejati, dirinya tetap was-was pada situasi di sekitarnya, jangan-jangan ada lawan yang mengintai di sana .

Benar saja. Ketika dia dengan rekan prajurit sedang mempersiapkan makan siangnya, dia melihat empat orang musuh yang hanya berjarak sekitar 20 meter dari mereka sedang menuju arahnya. Beruntunglah prajurit dari kesatuan Raiders itu ada dalam posisi di atas musuh-musuhnya sehingga memiliki jarak tembak yang lebih baik dibandingkan lawan mereka. Akhirnya terjadilah kontak senjata yang sengit, Meskipun empat melawan dua, prajurit Nasution ini lebih unggul karena berhasil melumpuhkan salah satu musuh di kakinya, sehingga si musuh melemparkan senjatanya ke sekitar mereka. Situasi medan saat itu adalah hutan dan sedikit ada rawa-rawa. Dan senjata musuh yang dipegang tadi dilihat oleh Zulfan Nasution dilempar di rawa-rawa.

”Pada saat itu saya memang melihat, musuh ini melemparkan senjatanya dan dia terseok dibantu oleh kawannya,” papar Kopda Nasution.

Dirinya merasa punya kewajiban untuk merebut senjata lawan yang telah dilemparkan. Ketika dirinya mau menuju senjata musuh yang dilemparkan, dia justru mendapat perlawanan sengit dari musuh yang tersisa. ”Musuh ternyata berlari sekitar dia orang ke arah yang lebih tinggi daripada saya dan menembaki saya dengan jarak pandang yang lebih leluasa,” ujarnya. Meski dalam keadaan terjepit, prajurit TNI ini tetap bertahan demi merebut senjata lawan.

Kontak senjata yang tidak seimbang tadi, terus dilayani dan dengan penuh kepercayaan diri dia justru menguasai medan dan terus memberikan tembakan balasan pada lawan yang jumlahnya lebih banyak. Akhirnya dengan perlawanan sengit ini membuat pasukan lawan ini merasa terjepit dan memilih menghindari. Prajurit TNI ini akhirnya mengambil senjata milik musuh dan disitulah dia merasa lega karena lawan ternyata tidak berhasil merebut senjata itu kembali. Mereka memilih lari tunggang langgang dan membantu temannya yang tertembak.

Akhirnya prajurit yang berasal dari Medan ini kembali kepasukan tanpa tangan kosong dan menenteng senjata yang membuktikan dirinya berhasil menaklukan lawan.

Prajurit yang satu ini memang sudah terbiasa di medan tempur, karena pada saat itulah dia sudah dua kali bertugas di daerah operasi. Selain itu Kopda Nasution juga dikenal memiliki nyali yang besar, karena itulah dia juga pernah mengalami KPLB (Kenaikan Pangkat Luar Biasa) dari Prada ke Pratu pada saat bertugas di Papua, (sebelum bergabung di Kesatuan Raiders) dan dari Pratu ke Praka pada saat bertugas di Aceh Pertama.

Ketika ditanya bagaimana persaannya saat terjadi kontak senjata yang sengit, dia memiliki resep yang terpenting yaitu tetap percaya diri dan bersikap tenang smabil terus membaca siatuasi dati detik ke detik. Tanpa sikap itu semua, menurut prajurit yang baru saja memiliki momongan satu putra, sikap tersebut bisa diperoleh karena terus berlatih dengan tekun sehari-hari saat sebelum diterjunkan di medan perang. Selengkapnya...

TERJEBAK DI PERBATASAN BOSNIA DAN KROATIA

Tak terbayang oleh Lettu Mamak harus menginap semalam di antara perbatasan Bosnia dan Kroatia, negara yang sedang berkecamuk konflik bersenjata. Pada saat itu saya di Kompi Zeni TNI AD yang tergabung dalam Pasukan Perdamian PBB tahun 1995, bertugas untuk mengambil logistik pasukan dari Kroatia menuju Bosnia. ”Kami menggunakan truk Tronton umum dan langsung dihadang oleh polisi keamanan setemapat dan ditanyai macam-macam.

Dalam situasi seperti itu memang kendaraan angkutan umum apapun dicurigai jika masuk dari Kroatia menuju Bosnia. Dan kenapa pasukan memilih memakai kendaraan umum yang disewa karena kendaaraan yang dipakai pasikan perdamian pada bagian roda memiliki rantai khusus untuk salju. Saya akui bahwa mereka kurang berpengalaman untuk mengendarai kendaraan sejenis itu di salju.

Sementara itu pada situasi kisruh siapapun bisa saja dianggap memberikan bantuan kepada salah satu musuh masing-masing yang sedang bertikai. Meskipun sudah memberikan identitas sebagai pasukan perdamaian yang bertugas mengantar logistik tetap sajasaya dan rombongan tak diperbolehkan masuk ke wilayah itu.

”Saya saat itu sempat pasrah, Tapi akhirnya setelah melakukan kontak dengan base camp dan memberikan keyakinan kepada polisi setempat akhirnya kami bisa menunggu komandan logistiknya yang datang lansung mengganti kendaraan umum yang kami pakai dengan kendaraan dari pasukan perdamaian. Syukurlah kami bisa lolos, meskipun harus menginap satri malam di daerah bersalju.

Itulah cuplikan kisah dari anggota pasukan TNI AD yang bertugas sebagai pasukan pedamaian di Bosnia tahun 1995 lalu. Lettu Mamak kali ini pun beruntung karena dia akhirnya lolos lagi sebagai anggota pasukan perdamaian untuk menjadi Anggota Satgas Kizi TNI OPP Munoc atau disebut Kontingen Garuda XX-D yang akan bertugas di Kongo.
jalak pengkor is offline Selengkapnya...

cerita kopassus V

Ketika awal DM I di Aceh Mei 2003 dulu, banyak wartawan yg antusias untuk meliput pertempuran di medan terdepan. Ada satu kisah yg dimana cerita ini gw baca dalam catatan lepas di harian (aneh??) Poskota yg biasanya ada di sudut kiri bawah hal pertama.

Suatu hari wartawan sedang menuju area pertempuran (sayang gw dah lupa di wil mana) yg dikawal ma 13 orang aparat (10 orang Kopassus, 3 orang Brimob) kemudian ketika ditengah jalan hutan belantara rombongan kena ambush gerilyawan GAM berjumlah +- 100 orang bersenjata campuran, wartawan dah panik akibat baru mengalami kejadian seperti ini (walaupun sebelumnya TNI dah melatih para wartawan yg akan meliput di Aceh sebelumnya) karena kali ini taruhannya nyawa. Tetapi yg terjadi para pengawal dari kopassus dan brimob tenang2 aja, setelah memberi perintah kpada brimob untuk menjaga para wartawan maka 10 orang anggota kopassus langsung menyerbu para anggota GAM dgn jalan mendekatinya langsung.
Ketika awal melihat angota TNI mendekati mereka, Gam berpikir bahwa ini sasaran empuk tetapi setelah melihat mereka perlahan tapi pasti mendekati mereka dan menghabisi satu demi satu teman2 mereka lama2 keder juga untuk menneruskan pertempuran. Klau menurut pengamatan wartawan, anggota GAM itu menembak seperti menghamburkan peluru (atau malah gak bisa nembak, yg penting peluru keluar) sdangkan TNI menembak bilamana sasaran terlihat oleh mereka saja, setelah bertempur selama sekitar 1 jam para GAM melarikan diri ke dalam hutan dan ditemukan korban skitar 12 orang tewas dan ceceran darah di dedaunan yg menandakan banyak yg terluka dilarikan teman2nya.
Bisa dibayangkan kwalitas passus yg mampu menghalau 100 musuh hanya dgn 10 orang aja.

Ini catatan dari wartawan yg meliput perang di Aceh, untuk jelasnya gw dah lupa karena berita awal Juni tahun 2003, gw brusaha cari2 lagi tp blum dapat juga. Mungkin ada yg prnah dengar cerita ini sebelumnya. Selengkapnya...

1th SURVIVOR...

Anggota kopasus yang pangkatnya udah tergolong elite (mungkin major keatas kali ya..) diberikan sebuah latihan yang sangat khusus. Saudara temen gwa ini (mulai sekarang sebut saja Mr.X), tergabung kedalam pelatihan khusus ini. Seperti apa pelatihannya? baca terus...


Pelatihan khusus ini, di anggotakan hanya segelintir anggota kopasus yang terbaik dari yang terbaik. Saat itu kira kira ada 10 orang yang tergabung di pelatihan ini. Dalam pelatihan ini mereka dikirim ke hutan belantara di Borneo (baca: Kalimantan) dengan bermodalkan sebuah granat asap (smoke bomb), baju yang mereka pakai dan pisau komado.

Tanpa pemberitahuan atau persiapan baik materi atau mental, mereka di "buang" begitu saja di tengah hutan yang lokasinya saling terpisah satu dari antara lainnya (ke-10 orang ini). Lalu mereka akan "jemput" kembali tepat 1 tahun dari tanggal mereka "dibuang" ini.

Pelatihan ini lebih mirip dengan ajang survivor to the best... dimana mereka harus bertahan hidup di tengah hutan belantara dengan apa yang mereka miliki. Tidak tau keberadaan mereka, tidak memiliki apa-pun juga.

1 tahun setelah tanggal pembuangan, helikopter penjemput melakukan manuver untuk mengitari hutan hutan dan mencari adanya asap berwarna. Dalam pelatihan ini, ada beberapa dari mereka yang tidak diketahui lagi keberadaan dan status-nya (MIA).... Selengkapnya...

cerita kopassus IV

Ini cerita tentang the first British SAS soldiers killed by a South East Asian soldier (yg tentu saja diwakili oleh prajurit dari RPKAD/Kopassus )

Setting ceritanya adalah bulan April tahun 1965, ketika Indonesia sedang berkonfrontasi dengan Malingsial. Lokasi pertempuran di desa Mapu, Long Bawan, perbatasan Kalimantan Barat dan Sabah.

Saat itu batalion 2 RPKAD (sekarang Grup 2 Kopassus) baru saja terbentuk. batalion baru ini segera dikirim untuk misi khusus ke kalimantan barat. Mereka mendarat di Pontianak bulan Februari 1965, dan segera setelah itu mereka berjalan kaki menuju posnya di Balai Karangan yang jaraknya puluhan kilometer dari lapangan terbang.

Pos Balai Karangan merupakan pos terdepan TNI yang sebelum kedatangan RPKAD dijaga oleh infanteri dari batalion asal Jatim. Sekitar 1 km di depan pos Balai Karangan adalah pos terdepan tentara Inggris di desa Mapu yang dijaga oleh satu kompi British paratrooper dan beberapa orang SAS. Menyerang pos inilah yang menjadi misi khusus batalion RPKAD. Pos Mapu tersebut sering digunakan sebagai transit bagi personel SAS yang akan menyusup ke wilayah Indonesia. TNI ingin hal ini dihentikan dengan langsung melenyapkan pos tersebut.

Pos Inggris di Mapu tersebut terletak di puncak sebuah bukit kecil yang dikelilingi lembah, sehingga pos ini sangat mudah diamati dari jarak jauh. Selain itu, pos tersebut juga cukup jauh dari pasukan induknya yang kira-kira terpisah sejauh 32 km.

Pasukan RPKAD yang baru datang segera mempersiapkan setiap detail untuk melakukan penyerangan. Prajurit RPKAD yang terpilih kemudian ditugaskan untuk melakukan misi reconnaisance untuk memastikan kondisi medan secara lebih jelas. Mereka juga memetakan pos tersebut dengan detail sehingga bisa menjadi panduan bagi penyusunan strategi penyerangan, termasuk detail jalur keluar masuknya.

Tugas recon ini sangat berbahaya, mengingat SAS juga secara rutin melakukan pengamatan ke posisi-posisi TNI. Jika kedua recon tersebut berpapasan tanpa sengaja, bisa jadi akan terjadi kotak tembak yang akan membuyarkan rencana penyerangan. Oleh karena itu, recon RPKAD sangat berhati-hati dalam menjalankan misinya. Bahkan mereka menggunakan seragam milik prajurit zeni TNI AD untuk mengelabui musuh apabila terjadi kemungkinan mereka tertangkap atau tertembak dalam misi recon tersebut.

Setelah sebulan mempersiapkan penyerangan, pada 25 April 1965 gladi bersih dilakukan. Dari tiga kompi RPKAD yang ada di pos Balai Karangan. Komandan batalion, Mayor Sri Tamigen, akhirnya memutuskan hanya kompi B (Ben Hur) yang akan melakukan penyerangan. Sementara 2 kompi lainnya tetap berada di wilayah Indonesia untuk berjaga-jaga bila terjadi sesuatu.

Dalam penyerangan ini, kompi B diharuskan membawa persenjataan lengkap. Mulai dari senapan serbu AK-47, senapan mesin Bren, peluncur roket buatan Yugoslavia, dan Bangalore torpedoes, mainan terbaru RPKAD waktu itu, yang biasanya digunakan untuk menyingkirkan kawat berduri atau ranjau.

Selesai mengatur perbekalan, Ben Hur mulai bergerak melintasi perbatasan selepas Maghrib. Karena sangat berhati-hati, mereka baru sampai di desa Mapu pada pukul 0200 dini hari. Setelah itu mereka segera mengatur posisi seperti strategi yang telah disusun dan dilatih sebelumnya.

Pos Mapu berbentuk lingkaran yang dibagi ke dalam empat bagian yang masing-masing terdapat sarang senapan mesin. Perimeter luar dilindungi oleh kawat berduri, punji, dan ranjau claymore. Satu-satunya cara untuk merebut pos ini adalah dengan merangsek masuk kedalam perimeter tersebut dan bertarung jarak dekat. Menghujani pos ini dengan peluru dari luar perimeter tidak akan menghasilkan apa-apa karena didalam pos tersedia lubang-ubang perlindungan yang sangat kuat.

Beruntung, malam itu hujan turun dengan deras seolah alam merestui penyerangan tersebut, karena bunyi hujan menyamarkan langkah kaki dan gerakan puluhan prajurit komando RPKAD yang mengatur posisi di sekitar pos tersebut.

Setelah dibagi ke dalam tiga kelompok, prajurit komando RPKAD berpencar ke tiga arah yang telah ditetapkan. Peleton pertama akan menjadi pembuka serangan sekaligus penarik perhatian. Kedua peleton lainnya akan bergerak dari samping/rusuk dan akan menjebol perimeter dengan bagalore torpedoes agar para prajurit RPKAD bisa masuk ke dalam dan melakukan close combat.

Pada jam 0430 saat yang dinanti-nanti tiba, peleton tengah membuka serangan dengan menembakkan senapan mesin Bren ke posisi pertahanan musuh. Segera setelah itu, dua peleton lainnya meledakkan bangalore torpedoes mereka dan terbukalah perimeter di kedua rusuk pertahanan pos tersebut. Puluhan prajurit RPKAD dengan gagah berani masuk menerjang ke dalam pos untuk mencari musuh.

Prajurit Inggris berada pada posisi yang tidak menguntungkan karena tidak siap dan sangat terkejut karena mereka tidak menduga akan diserang pada jarak dekat. Apalagi saat itu sebagian rekan mereka sedang keluar dari pos untuk berpatroli. Yang tersisa adalah 34 prajurit Inggris. Hal ini memang telah dipelajari recon RPKAD, bahwa ada hari-hari tertentu dimana 2/3 kekuatan di pos tersebut keluar untuk melakukan patroli atau misi lainnya. Dan hari itulah yang dipilih untuk hari penyerangan.

Dengan susah payah, akhirnya ke-34 orang tersebut berhasil menyusun pertahanan. Beberapa prajurit RPKAD yang sudah masuk ke pos harus melakukan pertempuran jarak dekat yang menegangkan. Dua prajurit RPKAD terkena tembakan dan gugur. Namun rekan mereka terus merangsek masuk dan berhasil menewaskan beberapa tentara Inggris dan melukai sebagian besar lainnya. Tentara Inggris yang tersisa hanya bisa bertahan sampai peluru terakhir mereka habis karena mereka telah terkepung.

Diantara yang terbunuh dalam pertempuran jarak dekat yang brutal tersebut adalah seorang anggota SAS. Ini adalah korban SAS pertama yang tewas ditangan tentara dari ASEAN. Namun sayangnya Inggris membantah hal ini. Bahkan dalam buku karangan Peter Harclerode berjudul "Para! Fifty Years of the Parachute Regiment halaman 261 pemerintah Inggris malah mengklaim mereka berhasil menewaskan 300 prajurit RPKAD dalam pertempuran brutal tersebut. Lucunya klaim pemerintah Inggris ini kemudian dibantah sendiri oleh penulis buku tersebut di halaman 265, ia menyebutkan bahwa casualties RPKAD hanya 2 orang. Secara logis memang angka 300 tidak mungkin karena pasukan yang menyerang hanya satu kompi. Pemerintah Inggris melakukan hal tersebut untuk menutupi rasa malu mereka karena dipecundangi tentara dari dunia ketiga, bahkan salah satu prajurit dari kesatuan terbaik mereka ikut terbunuh dalam pertempuran tersebut.

Pertempuran itu sendiri berakhir saat matahari mulai meninggi. Prajurit RPKAD yang sudah menguasai sepenuhnya pos Mapu segera menyingkir karena mereka mengetahui pasukan Inggris yang berpatroli sudah kembali beserta bala bantuan Inggris yang diturunkan dari helikopter. Mereka tidak sempat mengambil tawanan karena dikhawatirkan akan menghambat gerak laju mereka.

Sekembali di pos Balai Karangan, kompi Ben Hur disambut dengan suka cita oleh rekan-rekannya. Para prajurit yang terlibat dalam pertempuran mendapatkan promosi kenaikan pangkat luar biasa. Mereka juga diberi hadiah pemotongan masa tugas dan diberi kehormatan berbaris di depan Presiden Soekarno pada upacara peringatan kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1965.

Itulah cerita heroik batalion 2 RPKAD, cikal bakal Grup 2 Kopassus.

========================================== Selengkapnya...